WISATA GILI LABAK
Di posting-an pertama ini, aku akan bercerita tentang pengalamanku berwisata ke Gili Labak di……. Lombok?? Bukan, ini bukan gili-gili terkenal yang ada di Lombok, gili yang satu ini adanya di Madura. Oh iya, karena ini posting-an pertama aku, mungkin aku perlu memperkenalkan diri dulu kali ya?? Namaku Gita, saat ini aku bekerja di salah satu televisi nasional Indonesia sebagai reporter. Bukan reporter khusus jalan-jalan sih, tapi kadang aku liputan wisata juga. Jadi, beberapa tulisan yang akan aku tuangkan di blog ini bisa jadi pengalamanku saat bertugas, seperti tulisan pertama ini. So, here we go..
Sumenep, Madura, 15 Juni 2015
Pagi ini aku terbangun di Hotel Suramadu, Sumenep, Madura. Sudah beberapa hari aku tinggal di pulau garam ini. Tapi, hari ini lah yang paling kutunggu. Rencananya hari ini aku akan berwisata ke Gili Labak. Dari hasil browsing sih gili atau pulau kecil ini baguuuuussss banget, dan sepi! Itu karena pulau ini belum jadi destinasi wisata terkenal. Jadi kalau ke sana akan serasa berlibur di pulau pribadi. Tapi menurut fixer-ku (orang yang bertugas memastikan kelancaran liputan di daerah tujuan) Gili Labak sekarang sudah mulai ramai dikunjungi wisatawan pada Sabtu-Minggu berkat ekspos para blogger, alhamdulilah. Karena ingin menampilkan liburan bak di pulau pribadi, makanya aku memilih ke sana hari Senin. “Semoga sepi,” ujarku dalam hati. Uuuu, so excited!
Aku bergegas mandi dan sarapan nasi goreng. Niat hati ingin berangkat pagi, setelah subuh kalau bisa. Aku ingin melihat suasana kapal-kapal nelayan yang baru pulang membawa ikan di pelabuhan. Tapi apa boleh buat, driver-ku, Cak Ahmad, susah sekali bangun pagi (tapi so far dia best driver I ever had sih). Belum lagi aku harus mengajak tiga talent untuk menjadi teman liputan, supaya aku nggak kayak kurang kerjaan liburan sendiri. Daann, mereka juga nggak mau berangkat pagi, huufftt..
Sumenep, Madura, 15 Juni 2015
Pagi ini aku terbangun di Hotel Suramadu, Sumenep, Madura. Sudah beberapa hari aku tinggal di pulau garam ini. Tapi, hari ini lah yang paling kutunggu. Rencananya hari ini aku akan berwisata ke Gili Labak. Dari hasil browsing sih gili atau pulau kecil ini baguuuuussss banget, dan sepi! Itu karena pulau ini belum jadi destinasi wisata terkenal. Jadi kalau ke sana akan serasa berlibur di pulau pribadi. Tapi menurut fixer-ku (orang yang bertugas memastikan kelancaran liputan di daerah tujuan) Gili Labak sekarang sudah mulai ramai dikunjungi wisatawan pada Sabtu-Minggu berkat ekspos para blogger, alhamdulilah. Karena ingin menampilkan liburan bak di pulau pribadi, makanya aku memilih ke sana hari Senin. “Semoga sepi,” ujarku dalam hati. Uuuu, so excited!
Aku bergegas mandi dan sarapan nasi goreng. Niat hati ingin berangkat pagi, setelah subuh kalau bisa. Aku ingin melihat suasana kapal-kapal nelayan yang baru pulang membawa ikan di pelabuhan. Tapi apa boleh buat, driver-ku, Cak Ahmad, susah sekali bangun pagi (tapi so far dia best driver I ever had sih). Belum lagi aku harus mengajak tiga talent untuk menjadi teman liputan, supaya aku nggak kayak kurang kerjaan liburan sendiri. Daann, mereka juga nggak mau berangkat pagi, huufftt..
Singkat cerita, kami sampai di Pelabuhan Kalianget jam 10. Kalianget merupakan pelabuhan paling timur di kabupaten paling timur Madura. Perjalanan dari pusat Kabupaten Sumenep ke Kalianget hanya sekitar 30 menit. Kalau kalian memulai perjalanan dari Surabaya, bisa menggunakan bus malam jurusan Kalianget dari terminal Bungurasih dan akan tiba di sini setelah subuh.
Begitu sampai, kami langsung menuju perahu nelayan yang telah di-booking sebelumnya. Rata-rata perahu nelayan di sini berkapasitas 15 orang. Kami menyewa satu perahu khusus untuk kelompok kami plus alat snorkeling seharga Rp 1.000.000,00 pulang-pergi. Tidak ada patokan harga untuk sewa perahu, jadi pintar-pintar lah menawar. Tapi ya jangan keterlaluan juga nawarnya karena perjalanan Kalianget-Gili Labak cukup jauh. Kalau mau lebih irit, kalian bisa sharing perahu dengan kelompok lain. Tapi kalau begitu ya harus pergi Sabtu atau Minggu, karena kalau hari biasa, akan susah mencari kelompok lain untuk diajak sharing :p
Oke, seluruh tim sudah naik
perahu, perlengkapan juga sudah komplit. But, waiiittt!!! VJ-ku (video journalist atau mungkin lebih familiar disebut campers walau agak berbeda)
minta perahu jangan berangkat dulu. Fokus kamera kami tiba-tiba rusak. Kami
mencoba menghubungi semua VJ senior dan produser untuk minta solusi. Berbagai
teknik sudah dicoba, tapi kamera tak kunjung benar. Satu jam sudah kami
menghambat perahu-perahu di belakang kami yang tak sabar pergi. Mau pinjam
kamera ke pusat kabupaten tidak mungkin, mau jam berapa kami berangkat? Ini
sudah jam 11 siang. Mau diulang besok lagi? Bagaimana dengan talent? Bagaimana
dengan cost yang cukup besar yang sudah dikeluarkan? Akhirnya kami memutuskan
untuk berangkat saja..
Kekhawatiranku berikutnya adalah sampai di Gili Labak jam berapa? Waktu menyeberang ke Gili Labak sangat relatif, berkisar 1-3 jam, semua tergantung kondisi ombak dan kecepatan kapal. Menurut nelayan yang perahunya kami sewa, April sampai November adalah waktu yang tepat mengunjungi Gili Labak karena ombak sedang tenang. Perjalanan Kalianget-Gili Labak ini memang melawan ombak, sehingga sangat berbahaya jika dilakukan saat ombak besar. Di bulan bagus ini saja ombak sudah cukup besar, kebayang kan kalau perjalanan ini dilakukan di bulan yang “tidak bagus”, bisa pecah kapal ini ditabrak ombak. Hemm, aku sangat takut kesorean. Tapi salah satu talentku, Mbak Yuli, mencoba menenangkan. Katanya kapal kami ini motornya dua, jadi seharusnya bisa sampai dalam waktu satu jam, paling lama 1,5 jam.
Memang, tak lama kemudian pulau kecil mulai tampak. Kekhawatiranku pun hilang ketika melihat laut yang seolah terpisah-laut yang lebih dalam berwarna biru tua, sementara laut yang lebih dangkal berwarna biru muda, membentuk horizon yang indah-pemandangan itu pun semakin memesona karena hamparan pasir putih Gili Labak yang menyatu dengan air laut. Tak berlebihan kalau kusebut pulau kecil ini sebagai secuil surga di tenggara Madura.
Begitu jangkar diturunkan, kami
bergegas menurunkan semua perlengkapan. Mulai dari makanan dan minuman, tenda,
hingga air bersih. Ya, di Gili Labak memang tidak ada air bersih. Ini
dikarenakan pulau yang begitu kecil, sehingga air yang tersedia hanya air
payau. Warga Gili Labak mengambil air bersih dari pulau-pulau sekitar secara
rutin untuk keperluan sehari-hari.
Setelah kami selesai mengambil scene mendirikan tenda, Kak Caca menghampiriku. “Git, batrenya habis, tinggal satu batre lagi, kayaknya kita harus ngecas dulu deh,” katanya. Akhirnya kita pun mencari pemukiman warga untuk numpang nge-charge. Pemukiman warga berada di tengah pulau, dikelilingi rimbunnya pohon kelapa. Sama seperti pesisir pantainya yang sepi bak tak berpenghuni, pemukiman warga pun tak kalah sepi. Beruntung kami menemukan dua orang nelayan yang sedang membuat bubu (semacam alat penangkap ikan). Tapi keberuntungan kami segera hilang begitu mengetahui di Gili Labak tidak ada listrik. Mereka hanya mengandalkan genset yang baru mulai menyala pukul lima sore. Aku baru ingat hasil risetku soal Gili Labak yang tidak dialiri listrik PLN.
Selain tidak ada listrik, di sini juga tidak ada fasilitas pendidikan dan kesehatan. Yang ada hanya sebuah masjid yang menurutku lebih mirip mushola bermenara. Jadi jangan harap menemukan penginapan dan rumah makan di sini. Meski begitu, jika kalian tidak mau repot membawa tenda dan makanan, kalian bisa menginap ataupun sekadar menumpang mandi dan makan di rumah warga. Tentu saja harus membayar. Lagi-lagi tidak ada harga pasti, jadi silakan menawar.
FYI, alasan kenapa pulau ini sangat sepi adalah karena penghuninya tak lebih dari 35 kepala keluarga, semua berprofesi sebagai nelayan. Agar anak-anak mereka tetap mendapat pendidikan yang layak, anak usia sekolah sengaja diungsikan ke pulau-pulau terdekat yang sudah memiliki fasilitas pendidikan.
Ok, back to business. Dengan sisa semangat yang ada, kami mengambil sisa scene di darat yang diperlukan. Waktu liputan semakin sempit. Bukan hanya karena hari yang semakin sore, tapi juga baterai kamera yang tak mampu bertahan lebih dari satu jam. Karena itu aku tidak boleh membuang-buang waktu, secara ajaib aku bisa melakukan PTC one or two take ok! Padahal biasanya aku selalu PTC berkali-kali, karena setiap melihat kamera yang lampu merahnya menyala, entah kenapa aku selalu tertawa terbahak-bahak. Mungkin yang ada di pikiranku saat itu adalah kami sudah berusaha sejauh ini, kami tidak boleh gagal!
Hamparan karang runcing :( |
Setelah selesai mengambil gambar
keidahan pulau, kini saatnya mengabadikan keindahan bawah laut Gili Labak. Salah
satu keistimewaan laut Gili Labak adalah kita tak perlu berperahu ke
tengah-tengah untuk snorkeling, dari pinggir saja kita sudah bisa melihat aneka
karang, ikan badut, sampai bintang laut biru. Suatu anugerah bukan?? Tapi tidak
jika kita baru mulai snorkeling sore hari, anugerah ini akan berubah jadi
petaka!
Berbeda saat kami baru tiba tadi, air laut sedang mencium pasir putih. Tapi di sore hari, air laut sangat jauh dari bibir pantai, hamparan karang runcing menyapa, air laut surut! Oh my god! Pasang-surut air laut karena posisi bulan dan matahari, harusnya aku terus mengingat pelajaran geografi itu T_T
Apa boleh buat, aku melewati hamparan karang itu dengan kaki katak baru pemberian pacarku (sekarang sudah jadi calon suami #ciee) yang langsung lecet-lecet. Teman-temanku? Aku tak mengerti bagaimana cara mereka melewati karpet karang runcing itu dengan kaki telanjang.
Tapi begitu menyelam, rasa sakit di telapak kaki karena tercucuk karang langsung hilang. Mata kami dimanjakan dengan hamparan karang berwarna dan aneka ikan. Meski pemandangannya begitu indah, kita tetap perlu hati-hati. Selain ada spesies ikan singa yang sangat beracun, di beberapa lokasi juga banyak terdapat bulu babi. Bulu babi menandakan titik perairan yang sudah mulai rusak, bisa jadi karena aktivitas kapal. Tapi jangan khawatir, masih banyak titik perairan di Gili Labak yang tetap asri.
Senja mulai menjelang, kami pun kembali ke permukaan. Kembali menapaki karpet karang runcing, hiks. Tepat setelah selesai mengambil shot matahari terbenam, baterai kami habis. Sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, beruntung! Sebenarnya kami masih perlu mengambil scene masak-masak dan makan-makan, tapi sampai di sini saja sudah cukup untuk membuat cerita. Lagi pula langit sudah terlalu gelap, tidak cocok untuk program kami yang tayang pagi hari.
FYI setelah liputan ini tayang, kami mendapat banyak apresiasi, terutama dari produser-produser pemangku program. Alih-alih jadi CJ, liputan ini malah menjadi inspirasi lahirnya konsep liputan baru di program kami, horay!
Penasaran dengan keseruan wisata di Gili Labak? Silakan klik link di bawah ini:
Kak Caca-Cak Ahmad-Aku (wajah-wajah ceria di tengah laut sebelum lihat panah sihir) |
Tadi sudah kuceritakan kalau kami
berangkat ke Gili Labak terlalu siang, konsekuensinya kami pulang terlalu malam.
Sudah kehabisan bahan obrolan dengan para talent, aku mencoba untuk tidur (VJ
dan driverku sudah tidur dari tadi karena kelelahan). Tapi bau mesin kapal
entah kenapa jadi terlalu menyengat, membuat aku tidak bisa tidur. Akhirnya aku
putuskan untuk rebahan saja dan memandangi langit Madura yang bersih penuh
bintang.
Lagi asik-asiknya memandangi
langit Madura yang indah, tiba-tiba aku merasa ada benda hitam panjang jatuh di
samping kapal. Hah, apa itu? Tripod? Batinku. Aku hanya berharap bukan peralatan
kantor yang hilang karena harganya mahal, bagaimana caranya aku mengganti
dengan gajiku? T_T
Aku : Apa tadi yang jatuh? (tanyaku panik)
Talent 1 : Panah. (katanya tenang)
Aku : Hah, panah?? (mana ada orang
malem-malem main panah di tengah laut??)
Talent 2 : Iya, panah sihir. (dia jawab dengan
santainya)
Aku : HAH, PANAH SIHIR??!!
Talent 3 : Iya,
panah sihir, santet. Itu dikirimkan seseorang untuk seseorang. Tadinya panah
itu punya ekor api, tapi kalau ada orang yang melihat, ekor apinya akan padam
dan jatuh sehingga santet tidak sampai ke orang yang dimaksud. Tadi kami sudah
lihat dua, Mbak Gita baru lihat yang ketiga.
Aku : Ooooo… Ha-ha-ha-ha.
Sudah hampir seminggu aku di Madura, stereotype tentang orang Madura yang katanya kasar dan suka main santet sama sekali tidak terbukti. Semua narasumber yang kutemui sangat baik hati dan lemah-lembut, serta kuat agamanya. Tapi kenapa di liputan terakhir ini aku malah melihat panah sihir?? Tentu tidak semua orang Madura main santet, ini hanya oknum kalau kata jubir instansi yang sedang tersangkut kasus. Tapi aku percaya memang tidak semua orang Madura seperti itu. Aku punya banyak teman orang Madura yang sangat baik.
Usut punya usut, kata fixer-ku Kalianget memang
pusatnya santet di Madura. Bisa jadi kamera kami rusak karena kurang kulonuwon
kalau kata orang Jawa. Percaya nggak percaya sih. Setelah pulang dan cek kamera
di logistik, ternyata kamera kami memang sudah saatnya di-reset. Syukurlah
bukan karena kurang “kulonuwon”. Tapi ini jadi pelajaran sih, setiap liputan di
tepat baru tak ada salahnya untuk kulonuwon kepada yang tidak terlihat,
hahahaha.
Tips
Dari pengalamanku berwisata di
Gili Labak yang penuh tantangan, aku punya sejumlah tips untuk kalian yang juga
ingin berkunjung ke Gili Labak agar bisa menikmati pulau cantik ini dengan
sempurna tanpa gangguan karpet karang runcing dan sebagainya:
- Datanglah pagi hari dan sarapan di pelabuhan. Bagi yang berangkat dari Surabaya silakan mulai perjalanan malam hari sehari sebelumya. Sementara yang berangkat dari Sumenep, usahakan berangkat setelah subuh atau maksimal jam 7.00.
- Booking perahu nelayan yang juga menyewakan alat snorkeling atau bawa sendiri karena di Gili Labak tidak banyak yang menyewakan alat snorkeling. Bagi yang ingin menikmati sensasi liburan di pulau pribadi silakan memilih waktu weekdays dengan konsekuensi biaya sewa perahu yang mahal karena tidak ada teman sharing. Bagi yang berprinsip “yang penting murah” silakan memilih waktu weekend dan mencari teman sharing cost perahu sebanyak-banyaknya.
- Sesampainya
di Gili Labak boleh-boleh saja berfoto untuk mengambil suasana pulau saat masih
terang, tapi jangan lama-lama, segera snorkeling! Kembalilah ke daratan sekitar
jam makan siang. Tidak mau kan melewati karpet karang runcing yang aku
ceritakan tadi?
Makan mie paling praktis :9
- Santap bekal makan siang yang dibawa lalu berkeliling lah. Mengitari Gili Labak di sore hari sungguh indah, udara juga sudah mulai sejuk.
- Pulang begitu matahari terbenam.Setelah mengabadikan momen sunset yang sangat cantik, segera lah kembali ke perahu kalau tidak mau kemalaman dan melihat panah sihir. Atau sekalian saja menginap dan pulang besok pagi, bonusnya sama sekali tidak perlu melewati karpet karang runcing ;D
- Jika ingin menginap, pilihlah rumah warga. Aku cukup bersyukur talent-ku menolak habis-habisan untuk menginap, apalagi di tenda. Ternyata memang saat malam pulau ini cukup menyeramkan. Tak ada penerangan, seakan hanya kita sendiri di pulau, dan desir ombak yang makin keras terdengar. Walaupun sangat menarik untuk merasakan sensasi itu, aku tetap menyarankan kalian menginap di rumah warga saja.
- Bawa pulang kembali sampah kalian. Pulau ini sangat cantik dan masih cukup bersih sampai saat aku berkunjung ke sana. Aku hanya menemukan beberapa sampah yang ditinggalkan wisatawan tak bertanggung jawab. Jangan ditambah lagi sampahnya! Lebih bagus lagi kalau kita ikut mengambil sampah yang ditinggal itu. Jangan sampai pulau cantik ini jadi pulau sampah. Jika kita ada kesempatan untuk kembali ke sini, kita masih ingin melihat Gili Labak yang sama bukan?
Pesan untuk Pemerintah Kabupaten Sumenep
Kepada Bapak dan Ibu pemerintah
Kabupaten Sumenep, tolong dong pulau ini meskipun kecil juga diberi dermaga,
sederhanaaa saja. Agar para wisatawan yang berkunjung ke Gili Labak tidak perlu
bersakit-sakit melewati karang saat air laut surut. Lagi pula menginjak karang
bisa membuat karang itu mati kan? Bisa dibayangkan berapa banyak karang yang
mati seiring meningkatnya wisatawan Gili Labak? Bisa-bisa pulau ini jadi pulau
karang mati :(
Sudah itu saja, tidak muluk-muluk kan?
Hope you enjoy my very first post :)
0 komentar:
Posting Komentar