CELURIT, SAKERA, DAN CAROK
-Saat ku tanya bagaimana cerita tentang penggunaan celurit dalam carok, Pak Haji seolah enggan menjawab, "Ah, itu kan sudah tidak ada."-
Pertama kali aku mengenal carok adalah dari film pendek yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Carok merupakan budaya dari Madura, di mana itu merupakan upaya mengembalikan harga diri yang telah diinjak-injak. Jika seseorang merasa harga dirinya maupun martabat keluarga dirampas orang lain, ia akan menantang duel orang yang dianggap merampas martabatnya itu hingga salah satunya mati. Umumnya masalah yang menjadi pemicu carok adalah wanita, entah karena perselingkuhan atau pelecehan pada seorang istri yang suaminya sedang pergi ke luar daerah. Sementara alat yang digunakan untuk berduel dengan carok adalah senjata kebanggaan orang Madura, yaitu celurit.
Kebetulan waktu itu aku ditugaskan meliput ke Madura. Salah satu liputanku tentang potret celurit. Di sana rasa ingin tahuku tentang carok makin tinggi. Sudah tentu aku berpikir ini adalah budaya yang amat merugi karena sebetulnya tak ada yang bisa dikembalikan dari kematian seseorang. Apa lagi dari film yang aku tonton, kebanyakan yang kalah adalah yang menantang duel. Alhasil, alih-alih mengambil kembali martabatnya, mau tak mau si istri diambil si pemenang karena tidak punya pelindung lagi. Ironi sekali.
Singkat cerita, aku menemui seorang perajin celurit asal Kabupaten Sumenep, yang celuritnya tersohor seantero Madura. Namanya Masduri, aku memanggilnya Pak Haji. Tampilannya sederhana. Peci, baju koko, dan sarung merupakan pakaian sehari-hari. Meski tua, ia tampak sehat. Heemm, aku tak berani langsung menanyakan tetang carok. Lagipula liputanku tentang celurit, bukan carok.
Aku mulai pertanyaan pertama, bagaimana awalnya celurit menjadi senjata khas Madura? Dari hasil risetku, benda tajam berbentuk bulan sabit itu pertama digunakan di Madura oleh Sakera, seorang mandor tebu yang berani melawan penjajahan Belanda. Sejak Sakera dihukum mati, rakyat Madura mulai berani melawan penjajah bersenjatakan celurit. Baju yang selalu dipakai legenda Madura ini juga menjadi baju khas Madura, yaitu baju garis-garis merah putih yang sering dipakai pedagang sate Madura saat ini. Tapi sepertinya Pak Haji punya pandangan lain pada seseorang yang selama ini dianggap pahlawan itu. Meski membenarkan cerita itu, ada sedikit gumam dari bibir Pak Haji, "Padahal preman juga itu." Aku langsung membatin, betapa kita harus berhati-hati mencerna sejarah. Beda pencerita, beda pula sudut pandangnya.
Terlepas dari sosok Sakera, apakah sebenarnya dia tokoh antagonis atau memang protagonis, sejak saat itu para mpu dan pandai besi di Madura mulai meniru bentuk celurit Sakera. Seolah mendarah daging, memiliki celurit sebagai sekep atau senjata pun seperti wajib bagi orang Madura. Di setiap rumah setidaknya terdapat satu buah celurit, gunanya untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti perampokan. Bahkan di daerah-daerah yang masih rawan, orang-orang Madura selalu membawa celurit kemana pun pergi sampai sekarang.
Sejatinya celurit bukanlah senjata, melainkan alat pertukangan. Inilah hal yang ditegaskan Pak Haji. Ia membuat celurit untuk membantu orang mengarit rumput, memotong kayu, dan kegiatan berguna lain, bukan untuk saling melukai.
Menurut Pak Haji, celurit terbaik terbuat dari campuran besi dan baja. Meski warnanya menjadi hitam kumal, tapi ketajamannya boleh diadu. Bentuknya yang melengkung pun bertujuan untuk memotong rumput lebih banyak. Jelas, alat ini dibuat untuk mempermudah pekerjaan, bukan untuk mengerjai orang. Bahan untuk gagang celurit juga tidak sembarangan. Umumnya menggunakan kayu klobur yang diklaim tak hancur meski direndam air hingga satu tahun.
Meski tampak serupa, bentuk celurit ternyata bermacam-macam. Diantaranya bulu ayam atau lancor ayam kata orang Sumenep, kembang turi, dan bulan sabit. Semua bentuk itu tidak punya fungsi khusus, murni kreativitas si perajin celurit. Bahkan beberapa ahli celurit juga suka membubuhkan pamor (ukiran) pada celurit untuk pajangan.
Sayang sekali kan, benda unik yang sarat nilai sejarah ini namanya pernah tercoreng karena digunakan dalam carok. Baiklah, aku mencoba memberanikan diri bertanya soal carok sekarang. Benar saja, saat ku tanya bagaimana cerita tentang penggunaan celurit dalam carok, Pak Haji seolah enggan menjawab, "Ah, itu kan sudah tidak ada." Ia meyakinkanku saat ini sudah tidak ada carok di Madura karena orang-orang sudah mulai sadar bahwa tradisi itu tak ada manfaatnya.
Aku mulai sungkan, sebenarnya aku tetap membutuhkan adegan ilustrasi carok. Beruntung Pak Haji mau mengakomodir. Ia memanggil dua temannya untuk mempraktikan adegan carok (tentu saja ini bohongan, tidak ada yang mati di sini). Aku bertanya, "Kenapa salah satunya tidak Pak Haji saja?", setahuku selain pandai membuat celurit, Pak Haji juga ahli memainkannya. "Tidak enak, habis jadi imam di masjid," katanya sambil tersenyum. Aku pun mengangguk dan mengawasi kameramenku menggambil gambar.
Belum lama pengambilan adegan di kebun itu berlangsung, beberapa ibu dengan heboh menghampiri karena mengira sedang ada carok sungguhan. Mereka menyalahkan kami yang berada di sana namun tidak melerai. Setelah ku jelaskan, mereka hanya tertawa-tawa. "Ya ampun Mbak, saya kira betulan, hahaha," kata seorang ibu.
Tampaknya carok memang pernah menjadi momok menakutkan bagi warga Madura. Syukurlah jika benar saat ini carok sudah punah. Inilah kearifan lokal yang seharusnya dijaga, mengembalikan celurit ke fungsi aslinya sebagai alat pertukangan kebanggaan Madura yang unik dan kaya sejarah.
Aku sempat khawatir Pak Haji tersinggung akan pertanyaan-pertanyaanku seputar carok. Tapi ternyata tidak. Sampai sekarang, hampir setahun setelah aku liputan di Madura, Pak Haji masih rajin menanyakan kabarku. Katanya kalau lagi kumpul keluarga, keluarganya suka bertanya kapan aku ke sana lagi. Rasanya terharu, aku bahkan tak bermalam di sana. Aku hanya numpang makan dan numpang tidur siang saat para pria sedang Jumatan, tapi mereka masih terus mengingatku. Doaku, semoga Pak Haji dan keluarga selalu sehat, usaha celuritnya semakin maju agar terus bisa membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar. Semoga pula para pembeli celurit Pak Haji menggunakan celurit itu sesuai fungsinya.
Kebetulan waktu itu aku ditugaskan meliput ke Madura. Salah satu liputanku tentang potret celurit. Di sana rasa ingin tahuku tentang carok makin tinggi. Sudah tentu aku berpikir ini adalah budaya yang amat merugi karena sebetulnya tak ada yang bisa dikembalikan dari kematian seseorang. Apa lagi dari film yang aku tonton, kebanyakan yang kalah adalah yang menantang duel. Alhasil, alih-alih mengambil kembali martabatnya, mau tak mau si istri diambil si pemenang karena tidak punya pelindung lagi. Ironi sekali.
Singkat cerita, aku menemui seorang perajin celurit asal Kabupaten Sumenep, yang celuritnya tersohor seantero Madura. Namanya Masduri, aku memanggilnya Pak Haji. Tampilannya sederhana. Peci, baju koko, dan sarung merupakan pakaian sehari-hari. Meski tua, ia tampak sehat. Heemm, aku tak berani langsung menanyakan tetang carok. Lagipula liputanku tentang celurit, bukan carok.
Aku mulai pertanyaan pertama, bagaimana awalnya celurit menjadi senjata khas Madura? Dari hasil risetku, benda tajam berbentuk bulan sabit itu pertama digunakan di Madura oleh Sakera, seorang mandor tebu yang berani melawan penjajahan Belanda. Sejak Sakera dihukum mati, rakyat Madura mulai berani melawan penjajah bersenjatakan celurit. Baju yang selalu dipakai legenda Madura ini juga menjadi baju khas Madura, yaitu baju garis-garis merah putih yang sering dipakai pedagang sate Madura saat ini. Tapi sepertinya Pak Haji punya pandangan lain pada seseorang yang selama ini dianggap pahlawan itu. Meski membenarkan cerita itu, ada sedikit gumam dari bibir Pak Haji, "Padahal preman juga itu." Aku langsung membatin, betapa kita harus berhati-hati mencerna sejarah. Beda pencerita, beda pula sudut pandangnya.
Terlepas dari sosok Sakera, apakah sebenarnya dia tokoh antagonis atau memang protagonis, sejak saat itu para mpu dan pandai besi di Madura mulai meniru bentuk celurit Sakera. Seolah mendarah daging, memiliki celurit sebagai sekep atau senjata pun seperti wajib bagi orang Madura. Di setiap rumah setidaknya terdapat satu buah celurit, gunanya untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti perampokan. Bahkan di daerah-daerah yang masih rawan, orang-orang Madura selalu membawa celurit kemana pun pergi sampai sekarang.
Sejatinya celurit bukanlah senjata, melainkan alat pertukangan. Inilah hal yang ditegaskan Pak Haji. Ia membuat celurit untuk membantu orang mengarit rumput, memotong kayu, dan kegiatan berguna lain, bukan untuk saling melukai.
Menurut Pak Haji, celurit terbaik terbuat dari campuran besi dan baja. Meski warnanya menjadi hitam kumal, tapi ketajamannya boleh diadu. Bentuknya yang melengkung pun bertujuan untuk memotong rumput lebih banyak. Jelas, alat ini dibuat untuk mempermudah pekerjaan, bukan untuk mengerjai orang. Bahan untuk gagang celurit juga tidak sembarangan. Umumnya menggunakan kayu klobur yang diklaim tak hancur meski direndam air hingga satu tahun.
Meski tampak serupa, bentuk celurit ternyata bermacam-macam. Diantaranya bulu ayam atau lancor ayam kata orang Sumenep, kembang turi, dan bulan sabit. Semua bentuk itu tidak punya fungsi khusus, murni kreativitas si perajin celurit. Bahkan beberapa ahli celurit juga suka membubuhkan pamor (ukiran) pada celurit untuk pajangan.
Sayang sekali kan, benda unik yang sarat nilai sejarah ini namanya pernah tercoreng karena digunakan dalam carok. Baiklah, aku mencoba memberanikan diri bertanya soal carok sekarang. Benar saja, saat ku tanya bagaimana cerita tentang penggunaan celurit dalam carok, Pak Haji seolah enggan menjawab, "Ah, itu kan sudah tidak ada." Ia meyakinkanku saat ini sudah tidak ada carok di Madura karena orang-orang sudah mulai sadar bahwa tradisi itu tak ada manfaatnya.
Aku mulai sungkan, sebenarnya aku tetap membutuhkan adegan ilustrasi carok. Beruntung Pak Haji mau mengakomodir. Ia memanggil dua temannya untuk mempraktikan adegan carok (tentu saja ini bohongan, tidak ada yang mati di sini). Aku bertanya, "Kenapa salah satunya tidak Pak Haji saja?", setahuku selain pandai membuat celurit, Pak Haji juga ahli memainkannya. "Tidak enak, habis jadi imam di masjid," katanya sambil tersenyum. Aku pun mengangguk dan mengawasi kameramenku menggambil gambar.
Belum lama pengambilan adegan di kebun itu berlangsung, beberapa ibu dengan heboh menghampiri karena mengira sedang ada carok sungguhan. Mereka menyalahkan kami yang berada di sana namun tidak melerai. Setelah ku jelaskan, mereka hanya tertawa-tawa. "Ya ampun Mbak, saya kira betulan, hahaha," kata seorang ibu.
Tampaknya carok memang pernah menjadi momok menakutkan bagi warga Madura. Syukurlah jika benar saat ini carok sudah punah. Inilah kearifan lokal yang seharusnya dijaga, mengembalikan celurit ke fungsi aslinya sebagai alat pertukangan kebanggaan Madura yang unik dan kaya sejarah.
Aku sempat khawatir Pak Haji tersinggung akan pertanyaan-pertanyaanku seputar carok. Tapi ternyata tidak. Sampai sekarang, hampir setahun setelah aku liputan di Madura, Pak Haji masih rajin menanyakan kabarku. Katanya kalau lagi kumpul keluarga, keluarganya suka bertanya kapan aku ke sana lagi. Rasanya terharu, aku bahkan tak bermalam di sana. Aku hanya numpang makan dan numpang tidur siang saat para pria sedang Jumatan, tapi mereka masih terus mengingatku. Doaku, semoga Pak Haji dan keluarga selalu sehat, usaha celuritnya semakin maju agar terus bisa membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar. Semoga pula para pembeli celurit Pak Haji menggunakan celurit itu sesuai fungsinya.
Link liputan:
https://www.youtube.com/watch?v=UHPHEOfZw0Q
0 komentar:
Posting Komentar