Rabu, 26 April 2017

FLASH TRIP PHNOM PENH

Aku paling malas melakukan perjalanan siang. Pertama karena tidak bisa ngirit budget hostel dengan nginap di jalan. Kedua, males aja kan sampai di tujuan malam hari, apalagi kalau tujuannya seperti Siem Reap yang gelap gulita. Tapi mau bagaimana lagi, selepas dari Bangkok transportasi yang tersedia memang bus siang. Syukurlah kondisi ibu kota Kamboja ini lebih baik. Memang tidak terang benderang, tapi setidaknya pemandangan yang ada bukan hitam pekat.

Dari tempat turun bus, kami naik tuk-tuk menuju Nomads Hostel dengan tarif 2 USD. Sedikit review Nomads, aku sangat suka hostel ini. Jadi mereka hanya menyediakan kamar barak/dormitory. Harganya waktu itu hanya 4,5 USD per bed, ini lah penginapan ala backpacker termurah di Phnom Penh. Uniknya, kamar dormitory di sini tidak memakai kasur tingkat, melainkan kasur busa yang dijajarkan di lantai. Masing-masing kasur disediakan satu colokan listrik, kipas angin, dan kelambu. Karena satu kamar dipakai beramai-ramai, mereka menyediakan loker untuk tamu menyimpan barang-barang berharga. Kamar mandi bersamanya pun sangat bersih dan kami juga disediakan handuk mandi untuk digunakan selama menginap di sana. Pemilik Nomads adalah warga negara asing, asal Norwegia kalau tidak salah. Dia sangat ramah dan dengan baik hati mau me-refund uang ketiga teman kami yang batal menginap di sana.

Kamboja Negara Mahal?
Setelah mandi dan merapikan barang, aku dan suami (dulu pacar) keluar untuk cari makan malam. Kami menemukan sejenis kaki lima di dekat hostel dan memutuskan untuk makan di sana. Seorang bule (aku lupa asal mana) mengajak kami ngobrol dan akhirnya kami makan semeja. Ia bercerita bahwa ia sudah tinggal di Kamboja beberapa tahun. Pekerjaannya guru musik. Dia sangat senang tinggal di Kamboja karena serba murah, dia merasa hidup bagai raja di sana. Rasanya aku ingin bilang, "Ya elo kayak raja, gue mah kayak gembel juga di sini, hahaha." But actually itu lebay sih. Kamboja itu kesannya mahal karena dia menggunakan USD untuk transaksi, tapi sebenarnya harga-harga di sini ya normal-normal saja kok. Memang tidak semurah di Thailand, tapi tidak semencekik di Singapura. Contohnya paket nasi dengan aneka lauk di kaki lima ini, hanya dihargai 1,5-2,5 USD saja. Berarti hanya sekitar Rp 20.000,- sampai Rp 30.000,- saja. Kemudian kalau ada yang bilang air mineral di Kamboja mahal, itu bohong. Harganya normal kok. Ya kecuali di dalam kawasan Angkor Wat, memang mahal naudzubilah, namanya juga tempat wisata. Oh ya, Kamboja tidak semata-mata menggunakan USD untuk bertransaksi, dia juga masih menggunakan mata uangnya sendiri yaitu Riel untuk pecahan kecil. Nah, ini lah yang lumayan bikin pusing di Kamboja karena setiap transaksi kita harus mengonversi dua mata uang sekaligus.

Setengah Hari Di Phnom Penh
Aku tak mengagendakan banyak waktu di Phnom Penh. Siang nanti kami sudah harus naik bus untuk melanjutkan perjalanan ke Ho Chi Minh City, Vietnam. Kami tidak berlama-lama di sini karena sebenarnya aku kurang tertarik mengunjungi Phnom Penh. Satu-satunya wisata yang menurutku menarik di sini adalah Killing Fields and Genocide Museum. Museum ini didirikan untuk mengingatkan kekejaman rezim Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot yang menghabisi nyawa jutaan warga Kamboja, isinya kumpulan tengkorak para korban pembantaian. Tapi bagi aku yang penakut, mengunjungi Killing Fields and Genocide Museum bukan ide yang bagus. Bisa-bisa aku terbanyang-bayang keseramannya seumur hidup. Tapi untuk menuju Ho Chi Minh City dari Siem Reap pasti akan melewati Phnom Penh. Jadi mau tidak mau kami harus singgah di sini.

Sungai Mekong di seberang Royal Palace
Akhirnya pagi itu kami menuju Royal Palace. Di dalamnya ada Silver Pagoda dan Temple of Emerald Buddha. Sayang, sesampainya di sana istana tersebut sedang tidak dibuka untuk umum karena sedang ada acara kenegaraan. Akhirnya kami hanya bisa berfoto di luarnya saja.

Sebenarnya selain Royal Palace dan Killing Fields and Genocide Museum, di Phnom Penh juga ada Wat Phnom dan National Museum yang bisa dikunjungi. Tapi karena kami memang kurang suka berwisata ke tempat di mana kami tidak bisa melakukan aktivitas di sana, kami memilih mencari oleh-oleh di Russian Market atau Pasar Toul Tom Poung. Disebut Pasar Rusia karena dulu banyak ekspatriat Rusia yang telah meninggalkan kewarganegaraannya berbelanja di sini. Kini pasar ini menjadi pusat belanja untuk para wisatawan membeli souvenir khas Kamboja. Aku tak memerlukan waktu lama di sini karena aku hanya mencari piring pajangan bergambar Angkor Wat untuk dibawa pulang. Piring pajangan bergambar ikon negara ini lah yang menjadi belanjaan wajibku setiap mengunjungi negara asing.

Minggu, 23 April 2017

MENJEJAK 7 WONDERS KEDUAKU, ANGKOR WAT

Hari ke-10. Pagi ini kami akan berangkat dari Bangkok ke Kamboja. Tepatnya ke Kota Siem Reap, tempat di mana Angkor Wat berada. Lagi-lagi kami mengubah rencana transportasi. Agen-agen travel di sepanjang Khaosan Road ternyata juga memiliki fasilitas transportasi ke Siem Reap. Karena lebih praktis, kami pun ikut agen travel saja. Sayangnya di sini ada diskriminasi paspor. Entah apa salah si paspor hijau, pemegang paspor ini dikenakan tarif lebih mahal daripada pemegang paspor lainnya. Aku dan suami (yang dulu masih jadi pacarku) tak terima, kenapa harus dibeda-bedakan? Akhirnya kami survey semua agen travel di di sepanjang Khaosan Road dan  menemukan satu agen yang tidak melakukan diskriminasi paspor ini.

Subuh-subuh kami sudah mejeng di pos polisi yang berada di ujung Khaosan Road. Di sini lah tempat kami akan dijemput oleh van yang akan mengantar kami ke perbatasan Aranyaprathet. Beberapa orang lain juga sudah berkumpul di sana. Tiba-tiba aku mendengar suara "Uno, uno!" kemudian suamiku menyenggol lenganku sambil berkata, "Kamu dipanggil tuh." Masih ingat aku pernah cerita saking ramahnya wisatawan-wisatawan di Khaosan Road ini sampai-sampai ada yang SKSD main sembarang sapa? Nah, salah satunya bule ini. Tebakan kami dia bule asal Italia. Karena selama berjalan-jalan di Khaosan Road aku sering memakai jaket bertuliskan "Italia", dia selalu menyapaku dengan berteriak "Uno!" kalau bertemu di jalan. Awalnya aku tidak sadar aku lah orang yang dia sapa, yang pertama menyadari itu adalah suamiku. Ya gimana mau sadar, jaket itu hanya pinjaman dari papaku. Aku tidak ada kecintaan pada Negara Italia. Aku juga tidak tahu bahwa uno artinya adalah satu dalam Bahasa Italia, yang aku tahu uno adalah satu dalam Bahasa Spanyol karena aku sering nonton Dora The Explorer. Hebatnya saat itu aku sedang tidak memakai jaket Italia itu, tapi dia masih bisa mengenali wajahku. Hebatnya lagi dia sudah bangun sepagi itu. Dia nggak dugem apa ya semalam? Aku pun membalas sapaannya dengan lambaian tangan dan senyum kagok.

Tak lama kemudian van kami datang. Perjalanan ke Aranyaprathet berjalan lancar meski mobilnya sedikit kurang nyaman. Kami hanya berhenti sesekali untuk isi angin ban, buang air, dan membeli minuman segar.

Sesampainya di Stasiun Aranyaprathet kami membeli makanan instan untuk makan siang. Dan karena katanya di Kamboja serba mahal karena transaksinya menggunakan USD, kami pun membeli persediaan air mineral yang banyak. Selanjutnya kami mengikuti arahan petugas agen travel untuk melakukan proses imigrasi (ini aku agak-agak lupa ya prosesnya bagaimana. Jadi kalau nanti kalian ke sana ternyata prosesnya agak beda ya maafkan. Pokoknya ikuti saja instruksi agen travel, niscaya kalian nggak akan nyasar).

Pertama kami harus sedikit berjalan melintasi gapura dengan replika Angkor Wat di atasnya. Kemudian di sana ada pos untuk mencap paspor sebagai bukti kita telah keluar dari wilayah Thailand. Di sini hawa-hawanya mulai aneh. Seumur-umur aku bepergian, ini lah perbatasan paling "random" yang pernah ku temui. Pos imigrasinya hanya berupa loket kecil kumuh yang langsung menghadap ke jalan. Sambil antre kita bisa melihat debu jalanan yang naudzubilah dan entah hidungku yang salah atau gimana, tapi aku merasa jalanan di sana bau amis.

Setelah lolos imigrasi Thailand, kami melanjutkan perjalanan dengan bus. Bus ini masih satu paket dengan van tadi, tapi kemudian kami dimintai bayaran lagi. Di sana kami merasa tertipu, hix. Namun tetap saja total yang kami bayarkan tidak semahal jika kami ikut agen travel yang menggunakan tarif diskriminasi itu, jadi ya tidak apa-apa lah.

Tak begitu lama berjalan, bus pun berhenti. Kami harus turun untuk mencap paspor kami sebagai bukti izin masuk ke wilayah Kamboja sebelum melanjutkan perjalanan lebih jauh.

"Hiburan" Slapstick Selama Perjalanan di Kamboja
Ini mungkin adalah perjalanan termembosakan dalam hidupku. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa melihat hamparan sawah kering. Kalau mau lihat hiburan di tv yang ada dalam bus, huh, you can't imagine. Jadi menurut pengamatanku hanya ada dua jenis hiburan yang ditampilkan di sini. Satu, hiburan lagu yang video clipnya template. Apa pun lagunya pasti videonya adalah ada pasangan di kondangan orang, kemudian si cowok menggoda si cewek sampai marah, habis itu si cowok memohon-mohon agar si cewek tidak marah lagi, setelah si cewek tidak marah kemudian mereka berdua bersama seluruh tamu undangan yang ada joged-joged. Jogednya satu gaya doang lagi, tangan dan kaki bergoyang ke depan dan ke belakang (OMG, ini harus aku praktekin sih biar jelas).

Hiburan jenis kedua adalah sejenis situasi komedi slapstick gitu. Ok aku nggak ngerti bahasanya, tapi aku yakin betul kalau itu komedi. Parahnya, slapstick yang dipakai di sini bukan seperti slapstick yang ditayangkan di tv-tv Indonesia (itu aja udah nggak mendidikan kan). Slapstick di sini adalah cewek diperkosa, terus dibacok, terus dibuang ke sawah. HAH? Menurut ngana itu lucu? Kayaknya selera komedinya harus dibenerin deh.

Sepanjang perjalanan aku hanya ngeri ngeri sedap. Ya Allah, aku dateng ke tempat apa sih? Negara macam apa yang menganggap perkosaan dan pembacokan adalah hal lucu? T_T Kemudian aku teringat betapa banyaknya rintangan yang ada sebelum aku dan suamiku ada di sana. Di artikel-artikel awal aku sudah bilang kan bahwa seharusnya kami pergi berlima, tapi kemudian kami hanya berangkat bertiga. Itu karena satu temanku baru menyadari paspornya hilang terbawa maling yang mencuri di kostannya beberapa hari sebelum jadwal berangkat. Teman kami yang satu lagi tidak menyadari masa berlaku paspornya kurang dari enam bulan sehingga pihak maskapai tidak mengizinkannya terbang. Kemudian Tyas mendadak disuruh pulang dari Bangkok oleh orang tuanya karena tidak diizinkan melanjutkan perjalanan ke Kamboja dan Vietnam, tinggal lah aku berdua dengan suamiku. Belum lagi kerusuhan yang terjadi di Bangkok. Jangan-jangan ini adalah peringatan bahwa seharusnya kami tidak jadi berangkat? Jangan-jangan riwayat kami akan tamat di negara yang leluconnya adalah perkosaan dan pembacokan ini?

Tapi kemudian aku teringat pada Mama yang mengantarku sampai ke Bandara Soekarno-Hatta. Saat temanku, Mona, tidak diizinkan berangkat oleh maskapai, aku tidak kuasa menahan tangis. Langkahku naik ke pesawat pun ragu-ragu. Aku sempatkan menelepon Mama, memberitahu bahwa Mona tidak boleh berangkat, "Apa aku tidak jadi berangkat saja, Ma? Semua seperti melarang kami untuk pergi," kataku. Tapi mama bilang berangkat saja, katanya feelingnya baik. "Everything will gonna be okay," katanya. Ya, semoga saja semua baik-baik saja.

Minim Penerangan
Kami tiba di Siem Reap saat hari sudah gelap. Aku tidak tahu di mana bus menurunkan kami. Terminal? Entah lah, gelap sekali, tapi sepertinya kami berada di tengah-tengah persawahan. Seorang supir tuk-tuk menghampiri kami (ya, di Kamboja juga kendaraan tradisionalnya tuk-tuk). Sebenarnya aku agak takut dengan supir tuk-tuk ini, karena ia menawarkan jasanya sambil over sumringah. Tapi kami tidak punya banyak pilihan di tempat yang sangat gelap itu, akhirnya kami pun memintanya mengantar kami ke hostel tempat kami akan menginap.

Di perjalanan ia menawarkan untuk mengantar kami keliling Angkor Wat besok pagi. Ia juga menawarkan mengantar kami membeli tiket bus Siem Reap-Phnom Penh dan bus itu akan langsung menjemput ke penginapan kami besok. Semuanya dengan ongkos tuk-tuk ke hostel ini 20 USD, kami menawar 15 USD dan dia setuju.

Di sepanjang perjalanan hanya gelap yang kami lihat. Keramaian dan cahaya lampu hanya kami temukan di pasar malam. Setelah melewatinya, pemandangan gelap kembali.

Hostel tempat kami menginap, yaitu Siem Reap Holiday Garden, lokasinya ternyata cukup blusukan. Di kanan-kirinya hanya ada sawah, penerangannya kuning temaram. Aku paling benci lampu kuning karena memberi kesan spooky. Kenapa sih dia nggak pilih lampu putih aja? Apalagi hostel ini seperti rumah mewah besar dengan tangga melengkung di kanan-kiri, tidak ada orang lagi, makin seperti kastil berhantu yang dengan senang hati menampung para pengelana nyasar.

Kami pun membunyikan bel di meja receptionist, tak lama kemudian petugas hostel datang. Syukurlah dia manusia. Setelah mendapat kunci kamar, kami langsung menuju kamar kami. Karena awalnya kami akan pergi berlima, kami memesan kamar untuk keluarga di sini karena jatuhnya lebih murah. Jadi dalam satu kamar ada dua double bed dan satu single bed, pas untuk komposisi empat perempuan dan satu laki-laki. Sayangnya akhirnya kami hanya berdua. Menurutku untuk berlima saja kamar ini terlalu besar, apalagi untuk berdua. Kamar mandinya juga besar, bisa untuk koprol. Sialnya lampu di dalam kamar kuning juga! Ruangan besar, sepi, dan lampu temaram sudah cukup untuk membuat segudang skenario cerita horror dan thriller di otakku. Suamiku yang saat itu masih jadi pacarku pun adalah sesuatu yang harus ku antisipasi (you know what I mean, hahaha). Tapi kata mamaku semua akan baik-baik saja. Bahkan setelah ku beri tahu bahwa kami tinggal berdua dan apakah sebaiknya kami pulang saja, mamaku tetap menyuruhku melanjutkan perjalanan. "Yang penting kalian berdua jaga diri masing-masing," katanya. Jadi seharusnya semua baik-baik saja. Tapi bagaimana jika feeling mama kali ini salah?

Bermaksud mencari hiburan untuk menenangkan hati, aku pun menyalakan TV. Tapi hiburan yang ku dapat adalah hiburan slapstick macam di bus tadi. Lebih baik aku segera tidur. Lagi pula besok jam empat pagi kami akan dijemput si supir tuk-tuk. Perut keroncongan karena belum makan malam pun aku abaikan. Siapa yang mau keluar dengan jalanan yang gelap gulita begitu?

Kerajaan Matahari
Kami bangun agak kesiangan, alhasil kami baru siap jam setengah lima pagi. Aku deg-degan juga, apakah si supir tuk-tuk jadi menjemput? Kalau jadi, apakah dia masih menunggu? Kami kan telat setengah jam. Kami tidak bertukar nomor telepon karena baik aku dan suami tidak ada yang membeli simcard lokal.

Ternyata tuk-tuk kami sudah menunggu di depan. Kami pun minta maaf karena terlambat. "Tidak apa-apa, tapi kita harus bergegas, jangan sampai kalian ketinggalan melihat matahari terbit," katanya. Ya, tentu saja kami tidak mau melewatkan sunrise. Saat-saat paling ditunggu di Angkor Wat memang saat matahari terbit, katanya pemandangannya indah sekali.

Aku sangat menikmati suasana naik tuk-tuk dari hostel ke Angkor Wat. Sawah di kanan-kiri meskipun tidak terlalu kelihatan karena hari masih gelap, udara sejuk, dan bule-bule pada naik sepeda. Tadinya pun kami berencana menyewa sepeda dari hostel untuk berkeliling Angkor Wat, tapi naik tuk-tuk asik juga, anti nyasar lagi.

Sesampainya di sana antrean loket sudah puaaaaannnjjaaanngg. Wow, kalau untuk urusan sunrise sepertinya bule-bule bisa bangun pagi ya (stereotype yang aku dapat selama trip karena kebanyakan bule yang aku jumpai di hostel bangunnya siang). Setelah mendapat giliran, aku pun memilih tiket yang aku butuhkan. Aku membeli tiket harian seharga 20 USD. Ya cukup mahal memang, apalagi Pemerintah Kamboja sudah membenarkan bahwa per tahun 2017 harga tiket masuk Angkor Wat akan dinaikan.

Selain tiket harian, ada juga tiket terusan tiga hari dan tiket terusan seminggu penuh. Semua tergantung kebutuhan wisatawan. Kalau aku kan hanya ingin tahu, jadi sehari saja cukup. Tapi bagi para pemburu sunrise mungkin perlu membeli tiket terusan tiga hari atau bahkan yang satu minggu mengingat sunrise tidak selalu bagus.

Setelah membayar, kita akan difoto. Sesaat kemudian jadi lah tiket dengan foto wajah kita sehingga tidak bisa dipindah tangan.

Begitu menginjakan kaki di entrance-nya, aku benar-benar takjub. Lantai batu yang sangat panjang dan lebar dengan danau di kanan-kirinya membuatku merasa dibawa ke zaman berabad-abad lalu. Sebagai penggemar Doraemon garis keras, aku merasa seperti berkunjung ke negeri dalam kisah "Legenda Raja Matahari". Ini lah tujuh keajaiban dunia kedua yang berhasil ku kunjungi setelah Candi Borobudur.

Sayangnya hari itu matahari terbitnya tidak tampak. Seperti yang ku bilang, sunrise tidak selalu bagus. Kalau ada yang bilang "sunrise is expensive" ya di sini ini lah matahari terbit benar-benar berharga mahal. Semakin dia jual mahal tidak mau menunjukan bentuk terbaiknya, semakin banyak pula hari yang harus kita habiskan di Angkor Wat dan semakin banyak pula uang yang harus dikeluarkan untuk membeli tiket.

Halaman belakang Angkor Wat
Karena di depan rame banget, aku foto di belakang aja
Jauhan dikit lah
Setelah puas berkeliling Angkor Wat, supir tuk-tuk mengantar kami berkeliling kompleks candi lain di sekitar sana yang aku tidak hafal namanya. Yang jelas sudah pasti kami ke Ta Prohm Temple yang menjadi lokasi syuting film Tomb Rider. Aku senang si supir tuk-tuk cukup cakap berbahasa Inggris dan mudah dimengeri. Dia bisa menceritakan tentang objek-objek yang kita kunjungi walaupun sesekali agak nggak nyambung sih, ditanya apa jawab apa, hahaha.

Lupa namanya apa
Numpang "itu" ya xp
Au ini pohon apaan. Dusuruh foto sama tukang tuktuk di sana ya nurut aja dah.
Ngumpet ah (sorry captionnya alay xD)
Setelah merasa cukup berkeliling, kami diantarakan ke salah satu tempat makan di sana. Ini lah yang ku tunggu-tunggu, aku sudah menahan lapar dari kemarin malam. Aku bingung, apakah aku harus membayarkan si supir tuk-tuk makan? Mahal sist, seporsi makanan rata-rata 5 USD :') Tapi syukurlah sepertinya dia memang punya jatah makan setiap membawa turis ke sana. Ku lihat si pemilik kedai pun memberi uang tip padanya. Begitu juga yang ku lihat saat ia mengantar kami membeli tiket bus, sepertinya pemilik bus juga memberi uang padanya.

Selesai makan, kami bergegas kembali ke hostel sebelum jemputan bus kami datang. Setelah ku bayar, si supir tuk-tuk bertanya, "Nggak ada tipnya nih Mba?" Duh, kalau sekarang sih aku dan suami lumayan rajin ngasih tip. Lah dulu kami kan fresh graduate yang benar-benar fresh from the oven. Belum kerja, kere nggak punya duit, mau ngetrip ini pun nabung setahun. Akhirnya aku berikan 5 USD lagi padanya. Yeh, ujung-ujungnya 20 USD juga. Tapi ya sudah lah, pelayanannya memuaskan kok.

Tak begitu lama, bus kami pun datang. Seperti biasa hiburannya sitkom slapstick dan video clip joged satu gaya. Tapi setelah melihat Siem Reap terang di siang hari dan berinteraksi dengan beberapa warganya, juga merasakan sendiri pengelolaan wisatanya yang bagus, ternyata Kamboja tidak semenyeramkan itu kok. Semoga setelah tiga tahun berlalu kini Kamboja punya hiburan yang lebih bermutu. 

Kamis, 20 April 2017

GAGAL NONTON LADYBOY DI PATTAYA

Hari ke-3 di Bangkok, aku dan suamiku (yang dulu masih jadi pacarku) berencana mengunjungi Pattaya. Apa lagi kalau bukan untuk menonton kabaret ladyboy yang sangat terkenal itu. Bahkan Thailand punya ajang kontes kecantikan sendiri untuk wanita "jadi-jadian" ini yang tak kalah heboh dengan ajang Miss Universe. 

Pattaya adalah sebuah kota pesisir di selatan Bangkok. Kota ini merupakan pusatnya ladyboy di Thailand. Jarak Bangkok-Pattaya hampir sama dengan Jakarta-Bandung dengan waktu tempuh sekitar tiga jam. Kami memilih pulang-pergi dan tetap bermalam di Bangkok karena Pattaya terkenal sebagai destinasi wisata mahal, sudah tentu penginapannya juga mahal. Lagi pula keesokan harinya kami akan langsung melanjutkan perjalanan ke Kamboja, di mana transportasinya tentu lebih banyak tersedia di ibu kota.

Transportasi Bangkok-Pattaya banyak tersedia, dari pagi hingga tengah malam. Mungkin karena banyak orang Pattaya yang bekerja di Bangkok dan biasanya mereka pulang seminggu sekali (sama halnya dengan orang Bandung yang kerja di Jakarta).

Kendaraan Bangkok-Pattaya yang sudah kami riset dari Indonesia adalah bus (lihat artikel: 14 Hari Keliling Asia Tenggara (Itinerary Part 3)), tapi di hari sebelumnya aku dan suami iseng-iseng mencari alternatif transportasi lain. Ternyata di sepanjang Khaosan Road banyak agen travel yang menyediakan van untuk ke Pattaya. Dilihat harganya lebih murah, aku dan suami pun mem-booking dua kursi. Asik, sudah lebih murah, pasti juga lebih cepat sampai karena bisa selap-selip, pikirku.

Dugaanku ternyata salah. Keheranan kenapa tiket van/travel lebih murah dibanding tiket bus (padahal kan biasanya mahalan travel ya) terjawab saat perjalanan pulang dengan bus. Perjalanan dengan bus ternyata jauh lebih cepat dibanding naik van. Aku tidak tahu persis kenapa karena aku tidur sepanjang perjalanan. Apakah van itu tidak masuk tol atau memang jalannya kayak kuya, entah lah. Memang naik bus agak repot karena kita harus naik kendaraan lain dulu untuk ke terminal. Tapi percaya lah, kamu akan lebih memilih repot sedikit dibanding berlama-lama duduk berdesakan dalam van. Travel Jakarta-Bandung paling butut saja masih jauh lebih nyaman.

Bye Bye Ladyboy
Sesampainya di Pattaya, kami segera menuju Tiffany Cabaret Show. Ini lah kabaret ladyboy terbesar dan paling terkenal di Thailand. Makanya ajang kontes kecantikan ladyboy bernama Miss Tiffany.

Saat di Indonesia, aku sudah membuka website Tiffany Cabaret Show (www.tiffany-show.co.th). Saat itu harga kursi paling murah masih 416 Baht dan paling mahal 637 Baht atau sekitar Rp 160.000,- sampai Rp 250.000,-. Alangkah kagetnya kami ketika akan membeli tiket di sana ternyata harganya jauh lebih mahal dari itu. Aku pun bilang pada petugas loket kalau aku sudah melihat website Tiffany dan harga tiketnya tidak semahal itu. Si mbak loket pun menjelaskan kalau harga di website adalah harga untuk agen travel. Kita bisa mendapatkan harga lebih murah dibandingkan di sana jika membeli tiket di agen.

Penasaran, kami pun makan siang di McD untuk mendapat wifi gratis (ya maklum lah fakir wifi, nggak mampu beli kuota internet). Aku coba buka website Tiffany dan membeli tiket di sana. Ternyata memang tidak bisa, diperlukan semacam kode member gitu lah.

Mau tidak mau kami pun mencari tiket di agen travel. Semua agen travel di sepanjang jalan kami datangi untuk mencari harga termurah. Jadi harga paling murah adalah yang di website (untuk agen travel), kemudian harga naik di tangan agen travel tergantung agen travelnya (wisatawan bisa membeli di sini), dan harga paling mahal jika membeli on the spot. Aku lupa harga tepatnya, let say Rp 200.000,- di website, Rp 300.000,- di agen, dan Rp 400.000,- on the spot. Sistem yang bagus untuk para pelaku industri pariwisata, hitung-hitung bagi-bagi rezeki. Tapi jelas tidak bagus untuk kami.

Setelah semua agen kami sambangi dan rata-rata memang menjual tiketnya sekitar Rp 300.000,-, aku pun menanyakan keputusannya pada suamiku. Ini jelas di luar budget kami. Jawabannya sungguh mengejutkan, "Kalau Rp 200.000,- sih aku masih ok. Tapi Rp 300.000,- untuk ngelihat cowok nari? I quit!" HAH? Aku kira dia akan bilang "Ok, kapan lagi kita ke sini." Kita udah sampai Pattaya meeennn.. dan nggak lihat ladyboy itu, itu...

Aku mencoba membesar-besarkan bola mataku sambil menatapnya memelas, biar kelihatan kasihan seperti Puss in Boots. "Please," kataku dalam hati. Tapi jawabannya tetap tidak. Ya mau bagaimana lagi, aku kan tidak mungkin nonton sendiri dan membiarkan dia luntang-lantung nggak jelas di Pattaya. Bye bye ladyboy :(

Disappointing Pattaya
Setelah memastikan diri tidak akan nonton ladyboy, kami pun jalan-jalan di pantai. Sumpah, pantainya jelek banget! Kotor lagi. Ada satu objek menarik sih untuk selfie, board bertulisakan "Pattaya" seperti di Hollywood berdiri di atas bukit. Tapi tulisannya tidak begitu besar, jaraknya pun terlalu jauh, ditambah kamera yang tidak mumpuni, gagal deh ber-selfie dengan latar board "Pattaya" itu.

Daripada menggerutu, kami mencoba jajanan yang ada di sekitar pantai. Kami membeli sticky rice dengan ayam dan sambal Pattaya untuk berdua. Kenapa tidak beli sendiri-sendiri? Karena mahal! 

Seperti yang sudah ku bilang, Pattaya ini destinasi wisata mahal. Penginapan mahal, atraksi wisata mahal, makanan mahal (bahkan McD yang sudah standar di seluruh dunia pun mahal), pokoknya serba mahal. Berbeda sekali dengan Bangkok yang serba murah. Dari tipe wisatawannya saja sudah terlihat berbeda sih. Kalau di Bangkok didominasi anak muda yang kelihatannya berbudget pas-pasan, di Pattaya ini didominasi bapak-bapak tua atau bahkan kakek-kakek yang sepertinya bingung bagaimana cara menghabiskan uang mereka. Akhirnya, kebanyakan dari mereka terlihat "ditemani" wanita lokal.

Oh ya, balik lagi ke sticky rice dan ayam itu, rasanya tidak enak! Ayam bakar sambal Pattaya yang dijual di supermarket dekat rumahku di Bandung dulu bahkan punya rasa lebih baik. Bukannya mengobati mood, jajan di sini malah bikin tambah ngomel-ngomel sendiri.

Saking kecewanya dengan Pattaya, aku sampai tidak semangat berfoto. Satu-satunya foto yang aku punya di sini adalah foto dengan background papan bertulisakan Pattaya Beach Road, yang penting aku punya bukti pernah menginjakan kaki di Pattaya. Suamiku lebih tidak bersemangat lagi, ia sama sekali tidak mau difoto.

Banana Pancake Terenak di Thailand
Menjelang malam, kami mencoba jalan-jalan di red district-nya Pattaya. Suamiku sudah bilang sih it's bad idea, tapi aku penasaran aja dengan kehidupan malam di Pattaya. Dan benar saja, begitu memasuki kawasan red district aku sih sebagai perempuan aman-aman saja. Tapi suamiku mulai didekati dan digoda para wanita malam (atau mungkin pria deng, sulit sekali membedakan mana perempuan asli dan mana yang bukan karena ladyboy Thailand sangat cantik). Aku bisa merasakan cengkraman tangan suamiku di pergelangan tanganku makin kencang, dia mulai takut tuh, HAHAHA.

Red district Pattaya ini sungguh "WOW". Bar-bar dengan tembok kaca menampilkan para penari striptease yang mengundang orang-orang masuk ke dalam. Di luar para wanita maupun ladyboy berpakaian minim bertebaran menjajakan diri. Pria-pria tua berjalan doyong ke kanan dan ke kiri berusaha menahan keseimbangan karena mabuk. Pokoknya ini bukan tempat wisata yang baik untuk keluarga dan anak-anak.

Namun di tempat yang bikin tepok jidat berkali-kali ini pula kami menemukan banana pancake terenak se-Thailand! Ok, agak lebay karena sebenarnya kami baru mencicipi banana pancake di beberapa tempat di Bangkok. Tapi asli banana pancake di red district ini enak banget!

Izinkan aku sedikit mendeskripsikan banana pancake (karena aku tidak punya fotonya). Jadi pancake di sini tidak seperti pancake yang umumnya kita ketahui, yaitu adonan encer yang dipanggang di atas wajan dan diberi aneka topping seperti yang kita temui di Nanny's Pavillion. Adonan pancake di sini padat seperti adonan roti cane Malaysia saat belum masak yang ditipiskan hingga sangat lebar di atas wajan besar, kemudian diberi isian potongan pisang, kocokan telur, taburan gula pasir serta susu kental manis (kadang ada juga yang ditambahkan meses coklat, nutella, maupun keju untuk variasi) dan kemudian adonan dilipat dan dibolak-balik hingga matang. Ya, seperti membuat martabak telur di Indonesia tapi ini isiannya manis. Ini adalah jajanan favorit aku dan suami selama di Thailand sampai-sampai kami mengutak-atik resep untuk bisa membuat banana pancake sendiri di Indonesia.

Ok, balik ke banana pancake red district. Memang harganya sedikit lebih mahal daripada di Bangkok. Kalau harga banana pancake di Bangkok dibandrol sekitar 15-30 baht saja, di sini yang paling standar harganya 50 baht. Tapi memang porsinya lebih besar dan isiannya lebih berani, pokoknya mantap! Yang kurang mantap hanya kita harus menyantapnya sambil melihat penari-penari striptease di dalam bar (ya gimana nggak kelihatan, orang temboknya kaca). Jadi sebaiknya mata fokus saja ke banana pancake, daripada kehilangan selera makan, hahaha. Ya sedikit banyak banana pancake ini mengobati kekecewaanku karena gagal nonton ladyboy lah xD

Senin, 17 April 2017

AMAZING BANGKOK: WISATA MAINSTREAM, NYASAR KE PASAR LOKAL, HINGGA MELIHAT BEKAS KERUSUHAN


Sekitar jam enam pagi kami tiba di Bangkok dari Phuket. Karena belum jam check in hostel, kami langsung cari sarapan dan jalan-jalan di daerah Khaosan Road, di mana hostel kami pun berada di daerah itu. Setelah menyusuri Khaosan Road, kami memutuskan untuk makan di Jojo Pad Thai. Pad Thai adalah mie khas Thailand. Menurutku sih ini mirip kwetiaw, tapi lebih segar karena dicampur beragam sayuran. Harga seporsinya jika dirupiahkan hanya sekitar Rp 15.000,- waktu itu. Toppingnya ada ayam dan seafood. Mereka tidak menjual B2 dan di gerobaknya tercantum logo halal, jadi aman bagi para muslim. Meski hanya dijual di gerobak pinggir jalan dengan sedikit meja dan kursi, makan di sini sangat nyaman dan bersih. Jojo, penjualnya, serta istrinya, sangat ramah dan asik diajak ngobrol. Jadi kalau kalian ke Bangkok dan Jojo Pad Thai ini masih ada, aku sangat merekomendasikan kalian mencoba makan di sini.

Setelah lewat jam check in, kami segera menuju hostel tempat kami menginap yaitu Khaosan Road Rainbow Hostel untuk mandi dan menaruh barang bawaan. Penginapan ini kami pilih karena selain murah, juga berlokasi di jantung pariwisata Kota Bangkok, ya Khaosan Road ini. Dan ternyata fasilitasnya sangat tidak mengecewakan.

Awalnya agenda hari itu hanya leyeh-leyeh di hostel mengingat sudah satu minggu kami jalan-jalan. Mengagendakan satu hari istirahat dalam perjalanan panjang sangat penting untuk menjaga kondisi fisik tetap fit sehingga tidak merusak mood. Tapi teman kami, Tyas, harus kembali ke Indonesia besok pagi karena tidak diizinkan melanjutkan perjalanan ke Kamboja dan Vietnam oleh orang tuanya. Mereka berpikir Kamboja dan Vietnam adalah negara antah berantah yang masih tidak aman. Akhirnya atas nama setia kawan, kami pun mengeksplor Bangkok hari itu juga dan menunda jadwal leyeh-leyeh sampai besok meski sebenarnya badan sudah remuk redam.


Grand Palace
Grand Palace
Komplek Istana Modern Grand Palace
Tujuan pertama sudah tentu Grand Palace, belum ke Bangkok kalau belum ke sini. Grand Palace adalah kompleks istana Thailand yang sekarang diaktifkan sebagai tempat wisata. Mungkin satu-satunya hal mahal di Bangkok yang tidak bisa kita lewatkan adalah tiket masuk Grand Palace ini, yaitu 500 Baht. Kalau dirupiahkan waktu itu sekitar Rp 200.000,-. Tapi tidak apa-apa, karena di dalamannya kita akan mendapatkan wisata yang bagus dan sangat terawat. Dengan harga tiket masuk yang mahal justru pengunjung akan lebih menghargai tempat itu, pemasukan dari tiket pun dapat digunakan untuk perawatan tempat wisata. Suka sedih kan kalau datang ke tempat wisata tiketnya murah atau bahkan gratis tapi lama-lama tempat itu rusak dan tidak terawat?

Ok, aku tidak akan banyak membahas soal Grand Palace karena pasti sudah banyak riview-nya. Pokoknya tempat ini bagus banget dan dikelola dengan sangat baik. Salah satu contohnya saja, ketika masuk pengunjung akan diberikan selebaran yang isinya adalah informasi mengenai Grand Palace. Selebaran itu ada yang berbahasa Thailand, Inggris, dan Mandarin. Lucunya, pacarku (sekarang suamiku) yang memang mukanya agak China walaupun nggak ada keturunan Chinanya, dikasih selebaran yang berbahasa Mandarin. Kalau nggak punya malu, mungkin aku akan ngakak guling-guling di Grand Palace xD

Berfoto dengan penjaga istana sebelum meninggalkan Grand Palace
Selain Grand palace, masih banyak destinasi wisata terkenal yang bisa dikunjungi seperti Wat Arun, Wat Pho, National Museum, dan Jim Thompson House. Tapi karena sebenarnya wisata "benda mati" ini not really my type, jadi Grand Palace sudah cukup untukku.

Selanjutya tentu wisata belanja. Utamanya untuk mengantar Tyas yang besok sudah harus kembali ke Indonesia, membeli oleh-oleh untuk keluarganya. Ada beberapa tempat pilihan belanja di Bangkok, MBK Mall misalnya. Tapi kami memilih mengunjungi Chatuchak Weekend Market yang sangat terkenal itu supaya mendapat atmosfer tradisional Thailand.

Naik tuk-tuk ke Chatuchak
Dari Grand Palace ke Chatuchak cukup jauh, sekitar satu jam perjalanan. Ada beberapa pilihan transportasi yang bisa digunakan, pertama tuk-tuk. Tapi aku tidak begitu merekomendasikan untuk selalu menggunakan tuk-tuk karena para supir tuk-tuk di Bangkok sangat keterlaluan memberi harga pada turis. Kami naik tuk-tuk sekali saja, ya dari Grand palace ke Chatucak itu, yang penting sudah merasakan naik tuk-tuk di Bangkok. Selanjutnya kami lebih sering naik taksi karena lebih murah, apalagi dibagi bertiga. Di Thailand pun sekarang sudah menjamur taksi online, tentu bisa lebih hemat lagi. Selain tuk-tuk dan taksi, di Thailand juga ada kereta seperti di Singapura, Malaysia, dan tentu juga seperti di Indonesia. Tapi menurutku sistem kereta Bangkok belum bagus, masih tetap harus banyak sambung kendaraan juga, kondisi kereta dan stasiunnya pun kurang terawat (waktu itu ya, tahun 2014, nggak tahu sekarang), jadi aku juga tidak terlalu merekomendasikannya, naik sekali saja cukup.

Singkat cerita kami sampai di Chatuchak Weekend Market. Ya namanya juga weekend market, pasti bukanya Hari Sabtu dan Minggu, sementara kami ke sana Hari Jumat. Tapi jangan khawatir, Hari Jumat pun kita tetap bisa belanja di Chatuchak, tapi kios yang buka hanya sedikit. Meski sedikit yang buka, kami tetap kalap belanja. Barang-barang di sana lucu-lucu dan murah-murah. Nggak kebayang kalau kami datang saat semua kios buka, mungkin bekal uang kami habis saat itu juga.

Aku yang tidak suka belanja awalnya hanya berniat membeli gantungan kunci dan dompet kecil sekadar untuk oleh-oleh. Tapi melihat fashion item di sana lucu-lucu dan murah-murah, ditambah bisikan-bisikan menyesatkan Tyas dan Suamiku, akhirnya aku mengambil dress dan sepatu jelly yang saat itu sedang hits. Eits, belanjaanku tidak ada apa-apanya dibanding belanjaan suamiku dan Tyas, sepertinya mereka memang gemar belanja. Kami pun baru meninggalkan Chatuchak ketika hari sudah gelap.

--

Setelah menaruh belanjaan di hostel, kami pun turun untuk merasakan ingar-bingar Khaosan Road di malam hari. Ini lah yang ku sebut "Amazing Bangkok", sedikit meminjam jargon pariwisata Thailand, "Amazing Thailand". Khaosan Road terkenal dengan kehidupan malamnya. Dentuman musik dari klub-klub malam yang bejajar di sepanjang jalan bahkan bisa menggoyangkan dinding hostel kami. Anehnya, aku merasakan kemeriahan yang berbeda. Ramai namun sekaligus menenangkan.

Orang-orang dari berbagai belahan dunia tumpah ruah di satu jalan. Berbagai ras, suku, agama, dan berbagai masing-masing pilihan wisata tentunya. Ada yang memilih menghabiskan malam di diskotik dengan alkohol dan wanita-wanita (mungkin juga pria) lokal, ada yang memilih bersantai di kursi-kursi yang berjajar di pinggir jalan sambil merasakan pijatan khas Thailand, ada yang belanja, ada pula yang sibuk menjajal street food mulai dari sekadar sate jamur, sate seafood, hingga kuliner ekstrim gorengan serangga (yang ini mau ku foto, tapi harus bayar T_T). Ku lihat tak ada yang bersedih, semua bahagia, semua ramah. Saking ramahnya, beberapa ada yang SKSD main sapa saja. Kalau boleh memilih dua kota selama trip keliling Asia Tenggara ini, aku akan memilih Ho Chi Minh City di Vietnam dan sudah tentu Bangkok untuk bisa kembali ke sana suatu saat nanti.

Menikmati The Temple of Dawn
Keesokan paginya, Tyas kembali ke Indonesia. Dia naik elf fasilitas hostel (bayar ya) ke bandara Suvarnabhumi. Aku dan suamiku pun melaksanakan agenda leyeh-leyeh di hostel yang tertunda. Kami hanya keluar untuk sarapan (di Jojo Pad Thai lagi, suamiku sangat suka) dan makan siang di sekitar Khaosan Road. Menunya standar saja, tom yum. Tak lupa jajan-jajan cantik seperti ice cream dalam batok kelapa dan Thai tea (di sana bilangnya tea saja ya, jangan seperti aku bilang Thai tea, mereka malah bingung).

Sore harinya kami mengagendakan melihat Wat Arun, Temple of Dawn. Seperti julukannya "Temple of Dawn", kuil ini paling cantik dinikmati sore hari menjelang matahari terbenam. Tapi sepertinya jalan-jalan delapan hari non-stop memang melelahkan, badan kami memilih beristirahat. Alarm yang sudah dipasang untuk berdering jam empat sore sama sekali tidak terdengar, kami baru bangun setelah hari gelap.

Ya daripada tidak, kami tetap pergi melihat Wat Arun. Kami tidak mendatangi Wat Arun ya, melainkan melihatnya dari seberang Sungai Chao Phraya. Banyak juga pasangan-pasangan asli Thailand yang berduaan di sana, jadi ku pikir memang ini lah spot yang tepat untuk menikmati The Temple of Dawn. Masih sedikit menyesal sih gagal mendapat sunset di sini.

Meski begitu, Wat Arun tetap terlihat sangat cantik di malam hari karena lampu-lampu yang meneranginya. Sesekali ada kapal melintasi Sungai Chao Phraya. Kapal-kapal itu adalah kapal pesiar kecil yang membawa penumpang untuk dinner sambil cruising singkat.

Bahasa Tarzan Di Pasar Malam Lokal
Hari belum terlalu larut untuk tidur. Mau jalan-jalan lagi di Khaosan Road, rasanya semua sudah dijelajahi. Akhirnya kami memberanikan diri jalan sesuka kaki membawa kami sambil sesekali deg-degan takut nyasar. Tak sengaja kami melewati bekas kerusuhan Bangkok (bisa dilihat dari serakan kawat berduri di jalan). Jika ada yang ingat, Februari 2014 di Bangkok sedang terjadi kerusuhan dalam upaya menggulingkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra. Dalam kerusuhan bahkan terjadi tembak-tembakan dan pengeboman. Karena tak update berita internasional, kami baru mengetahui ini saat berada di Singapura. Tiket pulang-pergi sudah di tangan, semua hostel sudah di-booking, dan kami sudah berangkat, no way back. Kami hanya berdoa agar Allah selalu melindungi kami. Syukurlah, Dia sangat melindungi kami. Selama kami di Bangkok, kerusuhan itu berhenti sejenak. Jika saja kami hanya jalan-jalan di Khaosan Road dan tidak melewati jalan itu, mungkin kami lupa kalau di Bangkok baru saja terjadi demo besar-besaran.

Ok, tinggalkan cerita kerusuhan Bangkok. Tak jauh dari sana kami melihat ada keramaian, seperti pasar malam. Penasaran, akhirnya kami memutuskan mendatanginya. Benar saja, ini seperti Khaosan Road dalam versi yang berbeda. Jika di Khaosan Road dipenuhi turis asing, di sini ku lihat semua adalah warga lokal. Sama-sama menjual barang dan jajanan, tapi berbeda. Barang-barang di Khaosan Road sangat ditujukan untuk turis, seperti kaos bertuliskan "I Love Bangkok", "I Love Thailand" dsb. Di sini barang-barang yang dijual adalah barang kebutuhan sehari-hari dan fashion item untuk warga lokal, tanpa tulisan "Bangkok" dan "Thailand". Selain jajanan khas Thailand, di sini juga banyak terdapat jajanan khas negara lain seperti sushi dan takoyaki asal Jepang. Untuk harga pun di sini lebih murah (di Khaosan Road saja sudah murah, di pasar ini lebih murah-murah lagi).

Sayangnya, mungkin karena ini pasar lokal, mereka tidak siap untuk menghadapi turis asing. Berbeda sekali dengan Khaosan Road yang para pedagangnya fasih berbahasa Inggris, di sini semua pedagang yang aku hadapi tidak bisa Bahasa Inggris sama sekali. Padahal pasar ini dan Khaosan Road sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi bisa seberbeda itu. Akhirnya bahasa Tarzan dan kalkulator turun tangan, itu pun kadang masih salah. Aku ingin beli banana pancake (camilan favoritku di Thailand), tapi aku hanya mendapat pancake saja, tanpa pisang. Untungnya Thai coffee ku tidak berubah jadi Thai tea.

Meski cape menggoyang-goyang tangan dan menunjuk-nunjuk kalkulator, pengalaman "nyasar" di pasar yang sampai sekarang aku tak tahu namanya ini sangat berharga, melihat Thailand dari sisi non-turistik.