Hari ke-10. Pagi ini kami akan berangkat dari Bangkok ke Kamboja. Tepatnya ke Kota Siem Reap, tempat di mana Angkor Wat berada. Lagi-lagi kami mengubah rencana transportasi. Agen-agen travel di sepanjang Khaosan Road ternyata juga memiliki fasilitas transportasi ke Siem Reap. Karena lebih praktis, kami pun ikut agen travel saja. Sayangnya di sini ada diskriminasi paspor. Entah apa salah si paspor hijau, pemegang paspor ini dikenakan tarif lebih mahal daripada pemegang paspor lainnya. Aku dan suami (yang dulu masih jadi pacarku) tak terima, kenapa harus dibeda-bedakan? Akhirnya kami survey semua agen travel di di sepanjang Khaosan Road dan menemukan satu agen yang tidak melakukan diskriminasi paspor ini.
Subuh-subuh kami sudah mejeng di pos polisi yang berada di ujung Khaosan Road. Di sini lah tempat kami akan dijemput oleh van yang akan mengantar kami ke perbatasan Aranyaprathet. Beberapa orang lain juga sudah berkumpul di sana. Tiba-tiba aku mendengar suara "Uno, uno!" kemudian suamiku menyenggol lenganku sambil berkata, "Kamu dipanggil tuh." Masih ingat aku pernah cerita saking ramahnya wisatawan-wisatawan di Khaosan Road ini sampai-sampai ada yang SKSD main sembarang sapa? Nah, salah satunya bule ini. Tebakan kami dia bule asal Italia. Karena selama berjalan-jalan di Khaosan Road aku sering memakai jaket bertuliskan "Italia", dia selalu menyapaku dengan berteriak "Uno!" kalau bertemu di jalan. Awalnya aku tidak sadar aku lah orang yang dia sapa, yang pertama menyadari itu adalah suamiku. Ya gimana mau sadar, jaket itu hanya pinjaman dari papaku. Aku tidak ada kecintaan pada Negara Italia. Aku juga tidak tahu bahwa uno artinya adalah satu dalam Bahasa Italia, yang aku tahu uno adalah satu dalam Bahasa Spanyol karena aku sering nonton Dora The Explorer. Hebatnya saat itu aku sedang tidak memakai jaket Italia itu, tapi dia masih bisa mengenali wajahku. Hebatnya lagi dia sudah bangun sepagi itu. Dia nggak dugem apa ya semalam? Aku pun membalas sapaannya dengan lambaian tangan dan senyum kagok.
Tak lama kemudian van kami datang. Perjalanan ke Aranyaprathet berjalan lancar meski mobilnya sedikit kurang nyaman. Kami hanya berhenti sesekali untuk isi angin ban, buang air, dan membeli minuman segar.
Sesampainya di Stasiun Aranyaprathet kami membeli makanan instan untuk makan siang. Dan karena katanya di Kamboja serba mahal karena transaksinya menggunakan USD, kami pun membeli persediaan air mineral yang banyak. Selanjutnya kami mengikuti arahan petugas agen travel untuk melakukan proses imigrasi (ini aku agak-agak lupa ya prosesnya bagaimana. Jadi kalau nanti kalian ke sana ternyata prosesnya agak beda ya maafkan. Pokoknya ikuti saja instruksi agen travel, niscaya kalian nggak akan nyasar).
Pertama kami harus sedikit berjalan melintasi gapura dengan replika Angkor Wat di atasnya. Kemudian di sana ada pos untuk mencap paspor sebagai bukti kita telah keluar dari wilayah Thailand. Di sini hawa-hawanya mulai aneh. Seumur-umur aku bepergian, ini lah perbatasan paling "random" yang pernah ku temui. Pos imigrasinya hanya berupa loket kecil kumuh yang langsung menghadap ke jalan. Sambil antre kita bisa melihat debu jalanan yang naudzubilah dan entah hidungku yang salah atau gimana, tapi aku merasa jalanan di sana bau amis.
Setelah lolos imigrasi Thailand, kami melanjutkan perjalanan dengan bus. Bus ini masih satu paket dengan van tadi, tapi kemudian kami dimintai bayaran lagi. Di sana kami merasa tertipu, hix. Namun tetap saja total yang kami bayarkan tidak semahal jika kami ikut agen travel yang menggunakan tarif diskriminasi itu, jadi ya tidak apa-apa lah.
Tak begitu lama berjalan, bus pun berhenti. Kami harus turun untuk mencap paspor kami sebagai bukti izin masuk ke wilayah Kamboja sebelum melanjutkan perjalanan lebih jauh.
"Hiburan" Slapstick Selama Perjalanan di Kamboja
Ini mungkin adalah perjalanan termembosakan dalam hidupku. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa melihat hamparan sawah kering. Kalau mau lihat hiburan di tv yang ada dalam bus, huh, you can't imagine. Jadi menurut pengamatanku hanya ada dua jenis hiburan yang ditampilkan di sini. Satu, hiburan lagu yang video clipnya template. Apa pun lagunya pasti videonya adalah ada pasangan di kondangan orang, kemudian si cowok menggoda si cewek sampai marah, habis itu si cowok memohon-mohon agar si cewek tidak marah lagi, setelah si cewek tidak marah kemudian mereka berdua bersama seluruh tamu undangan yang ada joged-joged. Jogednya satu gaya doang lagi, tangan dan kaki bergoyang ke depan dan ke belakang (OMG, ini harus aku praktekin sih biar jelas).
Hiburan jenis kedua adalah sejenis situasi komedi slapstick gitu. Ok aku nggak ngerti bahasanya, tapi aku yakin betul kalau itu komedi. Parahnya, slapstick yang dipakai di sini bukan seperti slapstick yang ditayangkan di tv-tv Indonesia (itu aja udah nggak mendidikan kan). Slapstick di sini adalah cewek diperkosa, terus dibacok, terus dibuang ke sawah. HAH? Menurut ngana itu lucu? Kayaknya selera komedinya harus dibenerin deh.
Sepanjang perjalanan aku hanya ngeri ngeri sedap. Ya Allah, aku dateng ke tempat apa sih? Negara macam apa yang menganggap perkosaan dan pembacokan adalah hal lucu? T_T Kemudian aku teringat betapa banyaknya rintangan yang ada sebelum aku dan suamiku ada di sana. Di artikel-artikel awal aku sudah bilang kan bahwa seharusnya kami pergi berlima, tapi kemudian kami hanya berangkat bertiga. Itu karena satu temanku baru menyadari paspornya hilang terbawa maling yang mencuri di kostannya beberapa hari sebelum jadwal berangkat. Teman kami yang satu lagi tidak menyadari masa berlaku paspornya kurang dari enam bulan sehingga pihak maskapai tidak mengizinkannya terbang. Kemudian Tyas mendadak disuruh pulang dari Bangkok oleh orang tuanya karena tidak diizinkan melanjutkan perjalanan ke Kamboja dan Vietnam, tinggal lah aku berdua dengan suamiku. Belum lagi kerusuhan yang terjadi di Bangkok. Jangan-jangan ini adalah peringatan bahwa seharusnya kami tidak jadi berangkat? Jangan-jangan riwayat kami akan tamat di negara yang leluconnya adalah perkosaan dan pembacokan ini?
Tapi kemudian aku teringat pada Mama yang mengantarku sampai ke Bandara Soekarno-Hatta. Saat temanku, Mona, tidak diizinkan berangkat oleh maskapai, aku tidak kuasa menahan tangis. Langkahku naik ke pesawat pun ragu-ragu. Aku sempatkan menelepon Mama, memberitahu bahwa Mona tidak boleh berangkat, "Apa aku tidak jadi berangkat saja, Ma? Semua seperti melarang kami untuk pergi," kataku. Tapi mama bilang berangkat saja, katanya feelingnya baik. "Everything will gonna be okay," katanya. Ya, semoga saja semua baik-baik saja.
Minim Penerangan
Kami tiba di Siem Reap saat hari sudah gelap. Aku tidak tahu di mana bus menurunkan kami. Terminal? Entah lah, gelap sekali, tapi sepertinya kami berada di tengah-tengah persawahan. Seorang supir tuk-tuk menghampiri kami (ya, di Kamboja juga kendaraan tradisionalnya tuk-tuk). Sebenarnya aku agak takut dengan supir tuk-tuk ini, karena ia menawarkan jasanya sambil over sumringah. Tapi kami tidak punya banyak pilihan di tempat yang sangat gelap itu, akhirnya kami pun memintanya mengantar kami ke hostel tempat kami akan menginap.
Di perjalanan ia menawarkan untuk mengantar kami keliling Angkor Wat besok pagi. Ia juga menawarkan mengantar kami membeli tiket bus Siem Reap-Phnom Penh dan bus itu akan langsung menjemput ke penginapan kami besok. Semuanya dengan ongkos tuk-tuk ke hostel ini 20 USD, kami menawar 15 USD dan dia setuju.
Di sepanjang perjalanan hanya gelap yang kami lihat. Keramaian dan cahaya lampu hanya kami temukan di pasar malam. Setelah melewatinya, pemandangan gelap kembali.
Hostel tempat kami menginap, yaitu Siem Reap Holiday Garden, lokasinya ternyata cukup blusukan. Di kanan-kirinya hanya ada sawah, penerangannya kuning temaram. Aku paling benci lampu kuning karena memberi kesan spooky. Kenapa sih dia nggak pilih lampu putih aja? Apalagi hostel ini seperti rumah mewah besar dengan tangga melengkung di kanan-kiri, tidak ada orang lagi, makin seperti kastil berhantu yang dengan senang hati menampung para pengelana nyasar.
Kami pun membunyikan bel di meja receptionist, tak lama kemudian petugas hostel datang. Syukurlah dia manusia. Setelah mendapat kunci kamar, kami langsung menuju kamar kami. Karena awalnya kami akan pergi berlima, kami memesan kamar untuk keluarga di sini karena jatuhnya lebih murah. Jadi dalam satu kamar ada dua double bed dan satu single bed, pas untuk komposisi empat perempuan dan satu laki-laki. Sayangnya akhirnya kami hanya berdua. Menurutku untuk berlima saja kamar ini terlalu besar, apalagi untuk berdua. Kamar mandinya juga besar, bisa untuk koprol. Sialnya lampu di dalam kamar kuning juga! Ruangan besar, sepi, dan lampu temaram sudah cukup untuk membuat segudang skenario cerita horror dan thriller di otakku. Suamiku yang saat itu masih jadi pacarku pun adalah sesuatu yang harus ku antisipasi (you know what I mean, hahaha). Tapi kata mamaku semua akan baik-baik saja. Bahkan setelah ku beri tahu bahwa kami tinggal berdua dan apakah sebaiknya kami pulang saja, mamaku tetap menyuruhku melanjutkan perjalanan. "Yang penting kalian berdua jaga diri masing-masing," katanya. Jadi seharusnya semua baik-baik saja. Tapi bagaimana jika feeling mama kali ini salah?
Bermaksud mencari hiburan untuk menenangkan hati, aku pun menyalakan TV. Tapi hiburan yang ku dapat adalah hiburan slapstick macam di bus tadi. Lebih baik aku segera tidur. Lagi pula besok jam empat pagi kami akan dijemput si supir tuk-tuk. Perut keroncongan karena belum makan malam pun aku abaikan. Siapa yang mau keluar dengan jalanan yang gelap gulita begitu?
Kerajaan Matahari
Kami bangun agak kesiangan, alhasil kami baru siap jam setengah lima pagi. Aku deg-degan juga, apakah si supir tuk-tuk jadi menjemput? Kalau jadi, apakah dia masih menunggu? Kami kan telat setengah jam. Kami tidak bertukar nomor telepon karena baik aku dan suami tidak ada yang membeli simcard lokal.
Ternyata tuk-tuk kami sudah menunggu di depan. Kami pun minta maaf karena terlambat. "Tidak apa-apa, tapi kita harus bergegas, jangan sampai kalian ketinggalan melihat matahari terbit," katanya. Ya, tentu saja kami tidak mau melewatkan sunrise. Saat-saat paling ditunggu di Angkor Wat memang saat matahari terbit, katanya pemandangannya indah sekali.
Aku sangat menikmati suasana naik tuk-tuk dari hostel ke Angkor Wat. Sawah di kanan-kiri meskipun tidak terlalu kelihatan karena hari masih gelap, udara sejuk, dan bule-bule pada naik sepeda. Tadinya pun kami berencana menyewa sepeda dari hostel untuk berkeliling Angkor Wat, tapi naik tuk-tuk asik juga, anti nyasar lagi.
Sesampainya di sana antrean loket sudah puaaaaannnjjaaanngg. Wow, kalau untuk urusan sunrise sepertinya bule-bule bisa bangun pagi ya (stereotype yang aku dapat selama trip karena kebanyakan bule yang aku jumpai di hostel bangunnya siang). Setelah mendapat giliran, aku pun memilih tiket yang aku butuhkan. Aku membeli tiket harian seharga 20 USD. Ya cukup mahal memang, apalagi Pemerintah Kamboja sudah membenarkan bahwa per tahun 2017 harga tiket masuk Angkor Wat akan dinaikan.
Selain tiket harian, ada juga tiket terusan tiga hari dan tiket terusan seminggu penuh. Semua tergantung kebutuhan wisatawan. Kalau aku kan hanya ingin tahu, jadi sehari saja cukup. Tapi bagi para pemburu sunrise mungkin perlu membeli tiket terusan tiga hari atau bahkan yang satu minggu mengingat sunrise tidak selalu bagus.
Setelah membayar, kita akan difoto. Sesaat kemudian jadi lah tiket dengan foto wajah kita sehingga tidak bisa dipindah tangan.
Begitu menginjakan kaki di entrance-nya, aku benar-benar takjub. Lantai batu yang sangat panjang dan lebar dengan danau di kanan-kirinya membuatku merasa dibawa ke zaman berabad-abad lalu. Sebagai penggemar Doraemon garis keras, aku merasa seperti berkunjung ke negeri dalam kisah "Legenda Raja Matahari". Ini lah tujuh keajaiban dunia kedua yang berhasil ku kunjungi setelah Candi Borobudur.
Sayangnya hari itu matahari terbitnya tidak tampak. Seperti yang ku bilang, sunrise tidak selalu bagus. Kalau ada yang bilang "sunrise is expensive" ya di sini ini lah matahari terbit benar-benar berharga mahal. Semakin dia jual mahal tidak mau menunjukan bentuk terbaiknya, semakin banyak pula hari yang harus kita habiskan di Angkor Wat dan semakin banyak pula uang yang harus dikeluarkan untuk membeli tiket.
|
Halaman belakang Angkor Wat |
|
Karena di depan rame banget, aku foto di belakang aja |
|
Jauhan dikit lah |
Setelah puas berkeliling Angkor Wat, supir tuk-tuk mengantar kami berkeliling kompleks candi lain di sekitar sana yang aku tidak hafal namanya. Yang jelas sudah pasti kami ke Ta Prohm Temple yang menjadi lokasi syuting film Tomb Rider. Aku senang si supir tuk-tuk cukup cakap berbahasa Inggris dan mudah dimengeri. Dia bisa menceritakan tentang objek-objek yang kita kunjungi walaupun sesekali agak nggak nyambung sih, ditanya apa jawab apa, hahaha.
|
Lupa namanya apa |
|
Numpang "itu" ya xp |
|
Au ini pohon apaan. Dusuruh foto sama tukang tuktuk di sana ya nurut aja dah. |
|
Ngumpet ah (sorry captionnya alay xD) |
Setelah merasa cukup berkeliling, kami diantarakan ke salah satu tempat makan di sana. Ini lah yang ku tunggu-tunggu, aku sudah menahan lapar dari kemarin malam. Aku bingung, apakah aku harus membayarkan si supir tuk-tuk makan? Mahal sist, seporsi makanan rata-rata 5 USD :') Tapi syukurlah sepertinya dia memang punya jatah makan setiap membawa turis ke sana. Ku lihat si pemilik kedai pun memberi uang tip padanya. Begitu juga yang ku lihat saat ia mengantar kami membeli tiket bus, sepertinya pemilik bus juga memberi uang padanya.
Selesai makan, kami bergegas kembali ke hostel sebelum jemputan bus kami datang. Setelah ku bayar, si supir tuk-tuk bertanya, "Nggak ada tipnya nih Mba?" Duh, kalau sekarang sih aku dan suami lumayan rajin ngasih tip. Lah dulu kami kan fresh graduate yang benar-benar fresh from the oven. Belum kerja, kere nggak punya duit, mau ngetrip ini pun nabung setahun. Akhirnya aku berikan 5 USD lagi padanya. Yeh, ujung-ujungnya 20 USD juga. Tapi ya sudah lah, pelayanannya memuaskan kok.
Tak begitu lama, bus kami pun datang. Seperti biasa hiburannya sitkom slapstick dan video clip joged satu gaya. Tapi setelah melihat Siem Reap terang di siang hari dan berinteraksi dengan beberapa warganya, juga merasakan sendiri pengelolaan wisatanya yang bagus, ternyata Kamboja tidak semenyeramkan itu kok. Semoga setelah tiga tahun berlalu kini Kamboja punya hiburan yang lebih bermutu.