AMAZING BANGKOK: WISATA MAINSTREAM, NYASAR KE PASAR LOKAL, HINGGA MELIHAT BEKAS KERUSUHAN
Sekitar jam enam pagi kami tiba di Bangkok dari Phuket. Karena belum jam check in hostel, kami langsung cari sarapan dan jalan-jalan di daerah Khaosan Road, di mana hostel kami pun berada di daerah itu. Setelah menyusuri Khaosan Road, kami memutuskan untuk makan di Jojo Pad Thai. Pad Thai adalah mie khas Thailand. Menurutku sih ini mirip kwetiaw, tapi lebih segar karena dicampur beragam sayuran. Harga seporsinya jika dirupiahkan hanya sekitar Rp 15.000,- waktu itu. Toppingnya ada ayam dan seafood. Mereka tidak menjual B2 dan di gerobaknya tercantum logo halal, jadi aman bagi para muslim. Meski hanya dijual di gerobak pinggir jalan dengan sedikit meja dan kursi, makan di sini sangat nyaman dan bersih. Jojo, penjualnya, serta istrinya, sangat ramah dan asik diajak ngobrol. Jadi kalau kalian ke Bangkok dan Jojo Pad Thai ini masih ada, aku sangat merekomendasikan kalian mencoba makan di sini.
Setelah lewat jam check in, kami segera menuju hostel tempat kami menginap yaitu Khaosan Road Rainbow Hostel untuk mandi dan menaruh barang bawaan. Penginapan ini kami pilih karena selain murah, juga berlokasi di jantung pariwisata Kota Bangkok, ya Khaosan Road ini. Dan ternyata fasilitasnya sangat tidak mengecewakan.
Awalnya agenda hari itu hanya leyeh-leyeh di hostel mengingat sudah satu minggu kami jalan-jalan. Mengagendakan satu hari istirahat dalam perjalanan panjang sangat penting untuk menjaga kondisi fisik tetap fit sehingga tidak merusak mood. Tapi teman kami, Tyas, harus kembali ke Indonesia besok pagi karena tidak diizinkan melanjutkan perjalanan ke Kamboja dan Vietnam oleh orang tuanya. Mereka berpikir Kamboja dan Vietnam adalah negara antah berantah yang masih tidak aman. Akhirnya atas nama setia kawan, kami pun mengeksplor Bangkok hari itu juga dan menunda jadwal leyeh-leyeh sampai besok meski sebenarnya badan sudah remuk redam.
Grand Palace |
Grand Palace |
Komplek Istana Modern Grand Palace |
Tujuan pertama sudah tentu Grand Palace, belum ke Bangkok kalau belum ke sini. Grand Palace adalah kompleks istana Thailand yang sekarang diaktifkan sebagai tempat wisata. Mungkin satu-satunya hal mahal di Bangkok yang tidak bisa kita lewatkan adalah tiket masuk Grand Palace ini, yaitu 500 Baht. Kalau dirupiahkan waktu itu sekitar Rp 200.000,-. Tapi tidak apa-apa, karena di dalamannya kita akan mendapatkan wisata yang bagus dan sangat terawat. Dengan harga tiket masuk yang mahal justru pengunjung akan lebih menghargai tempat itu, pemasukan dari tiket pun dapat digunakan untuk perawatan tempat wisata. Suka sedih kan kalau datang ke tempat wisata tiketnya murah atau bahkan gratis tapi lama-lama tempat itu rusak dan tidak terawat?
Ok, aku tidak akan banyak membahas soal Grand Palace karena pasti sudah banyak riview-nya. Pokoknya tempat ini bagus banget dan dikelola dengan sangat baik. Salah satu contohnya saja, ketika masuk pengunjung akan diberikan selebaran yang isinya adalah informasi mengenai Grand Palace. Selebaran itu ada yang berbahasa Thailand, Inggris, dan Mandarin. Lucunya, pacarku (sekarang suamiku) yang memang mukanya agak China walaupun nggak ada keturunan Chinanya, dikasih selebaran yang berbahasa Mandarin. Kalau nggak punya malu, mungkin aku akan ngakak guling-guling di Grand Palace xD
Berfoto dengan penjaga istana sebelum meninggalkan Grand Palace |
Selain Grand palace, masih banyak destinasi wisata terkenal yang bisa dikunjungi seperti Wat Arun, Wat Pho, National Museum, dan Jim Thompson House. Tapi karena sebenarnya wisata "benda mati" ini not really my type, jadi Grand Palace sudah cukup untukku.
Selanjutya tentu wisata belanja. Utamanya untuk mengantar Tyas yang besok sudah harus kembali ke Indonesia, membeli oleh-oleh untuk keluarganya. Ada beberapa tempat pilihan belanja di Bangkok, MBK Mall misalnya. Tapi kami memilih mengunjungi Chatuchak Weekend Market yang sangat terkenal itu supaya mendapat atmosfer tradisional Thailand.
Naik tuk-tuk ke Chatuchak |
Dari Grand Palace ke Chatuchak cukup jauh, sekitar satu jam perjalanan. Ada beberapa pilihan transportasi yang bisa digunakan, pertama tuk-tuk. Tapi aku tidak begitu merekomendasikan untuk selalu menggunakan tuk-tuk karena para supir tuk-tuk di Bangkok sangat keterlaluan memberi harga pada turis. Kami naik tuk-tuk sekali saja, ya dari Grand palace ke Chatucak itu, yang penting sudah merasakan naik tuk-tuk di Bangkok. Selanjutnya kami lebih sering naik taksi karena lebih murah, apalagi dibagi bertiga. Di Thailand pun sekarang sudah menjamur taksi online, tentu bisa lebih hemat lagi. Selain tuk-tuk dan taksi, di Thailand juga ada kereta seperti di Singapura, Malaysia, dan tentu juga seperti di Indonesia. Tapi menurutku sistem kereta Bangkok belum bagus, masih tetap harus banyak sambung kendaraan juga, kondisi kereta dan stasiunnya pun kurang terawat (waktu itu ya, tahun 2014, nggak tahu sekarang), jadi aku juga tidak terlalu merekomendasikannya, naik sekali saja cukup.
Singkat cerita kami sampai di Chatuchak Weekend Market. Ya namanya juga weekend market, pasti bukanya Hari Sabtu dan Minggu, sementara kami ke sana Hari Jumat. Tapi jangan khawatir, Hari Jumat pun kita tetap bisa belanja di Chatuchak, tapi kios yang buka hanya sedikit. Meski sedikit yang buka, kami tetap kalap belanja. Barang-barang di sana lucu-lucu dan murah-murah. Nggak kebayang kalau kami datang saat semua kios buka, mungkin bekal uang kami habis saat itu juga.
Aku yang tidak suka belanja awalnya hanya berniat membeli gantungan kunci dan dompet kecil sekadar untuk oleh-oleh. Tapi melihat fashion item di sana lucu-lucu dan murah-murah, ditambah bisikan-bisikan menyesatkan Tyas dan Suamiku, akhirnya aku mengambil dress dan sepatu jelly yang saat itu sedang hits. Eits, belanjaanku tidak ada apa-apanya dibanding belanjaan suamiku dan Tyas, sepertinya mereka memang gemar belanja. Kami pun baru meninggalkan Chatuchak ketika hari sudah gelap.
--
Setelah menaruh belanjaan di hostel, kami pun turun untuk merasakan ingar-bingar Khaosan Road di malam hari. Ini lah yang ku sebut "Amazing Bangkok", sedikit meminjam jargon pariwisata Thailand, "Amazing Thailand". Khaosan Road terkenal dengan kehidupan malamnya. Dentuman musik dari klub-klub malam yang bejajar di sepanjang jalan bahkan bisa menggoyangkan dinding hostel kami. Anehnya, aku merasakan kemeriahan yang berbeda. Ramai namun sekaligus menenangkan.
Orang-orang dari berbagai belahan dunia tumpah ruah di satu jalan. Berbagai ras, suku, agama, dan berbagai masing-masing pilihan wisata tentunya. Ada yang memilih menghabiskan malam di diskotik dengan alkohol dan wanita-wanita (mungkin juga pria) lokal, ada yang memilih bersantai di kursi-kursi yang berjajar di pinggir jalan sambil merasakan pijatan khas Thailand, ada yang belanja, ada pula yang sibuk menjajal street food mulai dari sekadar sate jamur, sate seafood, hingga kuliner ekstrim gorengan serangga (yang ini mau ku foto, tapi harus bayar T_T). Ku lihat tak ada yang bersedih, semua bahagia, semua ramah. Saking ramahnya, beberapa ada yang SKSD main sapa saja. Kalau boleh memilih dua kota selama trip keliling Asia Tenggara ini, aku akan memilih Ho Chi Minh City di Vietnam dan sudah tentu Bangkok untuk bisa kembali ke sana suatu saat nanti.
Menikmati The Temple of Dawn
Keesokan paginya, Tyas kembali ke Indonesia. Dia naik elf fasilitas hostel (bayar ya) ke bandara Suvarnabhumi. Aku dan suamiku pun melaksanakan agenda leyeh-leyeh di hostel yang tertunda. Kami hanya keluar untuk sarapan (di Jojo Pad Thai lagi, suamiku sangat suka) dan makan siang di sekitar Khaosan Road. Menunya standar saja, tom yum. Tak lupa jajan-jajan cantik seperti ice cream dalam batok kelapa dan Thai tea (di sana bilangnya tea saja ya, jangan seperti aku bilang Thai tea, mereka malah bingung).
Sore harinya kami mengagendakan melihat Wat Arun, Temple of Dawn. Seperti julukannya "Temple of Dawn", kuil ini paling cantik dinikmati sore hari menjelang matahari terbenam. Tapi sepertinya jalan-jalan delapan hari non-stop memang melelahkan, badan kami memilih beristirahat. Alarm yang sudah dipasang untuk berdering jam empat sore sama sekali tidak terdengar, kami baru bangun setelah hari gelap.
Ya daripada tidak, kami tetap pergi melihat Wat Arun. Kami tidak mendatangi Wat Arun ya, melainkan melihatnya dari seberang Sungai Chao Phraya. Banyak juga pasangan-pasangan asli Thailand yang berduaan di sana, jadi ku pikir memang ini lah spot yang tepat untuk menikmati The Temple of Dawn. Masih sedikit menyesal sih gagal mendapat sunset di sini.
Meski begitu, Wat Arun tetap terlihat sangat cantik di malam hari karena lampu-lampu yang meneranginya. Sesekali ada kapal melintasi Sungai Chao Phraya. Kapal-kapal itu adalah kapal pesiar kecil yang membawa penumpang untuk dinner sambil cruising singkat.
Bahasa Tarzan Di Pasar Malam Lokal
Hari belum terlalu larut untuk tidur. Mau jalan-jalan lagi di Khaosan Road, rasanya semua sudah dijelajahi. Akhirnya kami memberanikan diri jalan sesuka kaki membawa kami sambil sesekali deg-degan takut nyasar. Tak sengaja kami melewati bekas kerusuhan Bangkok (bisa dilihat dari serakan kawat berduri di jalan). Jika ada yang ingat, Februari 2014 di Bangkok sedang terjadi kerusuhan dalam upaya menggulingkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra. Dalam kerusuhan bahkan terjadi tembak-tembakan dan pengeboman. Karena tak update berita internasional, kami baru mengetahui ini saat berada di Singapura. Tiket pulang-pergi sudah di tangan, semua hostel sudah di-booking, dan kami sudah berangkat, no way back. Kami hanya berdoa agar Allah selalu melindungi kami. Syukurlah, Dia sangat melindungi kami. Selama kami di Bangkok, kerusuhan itu berhenti sejenak. Jika saja kami hanya jalan-jalan di Khaosan Road dan tidak melewati jalan itu, mungkin kami lupa kalau di Bangkok baru saja terjadi demo besar-besaran.
Ok, tinggalkan cerita kerusuhan Bangkok. Tak jauh dari sana kami melihat ada keramaian, seperti pasar malam. Penasaran, akhirnya kami memutuskan mendatanginya. Benar saja, ini seperti Khaosan Road dalam versi yang berbeda. Jika di Khaosan Road dipenuhi turis asing, di sini ku lihat semua adalah warga lokal. Sama-sama menjual barang dan jajanan, tapi berbeda. Barang-barang di Khaosan Road sangat ditujukan untuk turis, seperti kaos bertuliskan "I Love Bangkok", "I Love Thailand" dsb. Di sini barang-barang yang dijual adalah barang kebutuhan sehari-hari dan fashion item untuk warga lokal, tanpa tulisan "Bangkok" dan "Thailand". Selain jajanan khas Thailand, di sini juga banyak terdapat jajanan khas negara lain seperti sushi dan takoyaki asal Jepang. Untuk harga pun di sini lebih murah (di Khaosan Road saja sudah murah, di pasar ini lebih murah-murah lagi).
Sayangnya, mungkin karena ini pasar lokal, mereka tidak siap untuk menghadapi turis asing. Berbeda sekali dengan Khaosan Road yang para pedagangnya fasih berbahasa Inggris, di sini semua pedagang yang aku hadapi tidak bisa Bahasa Inggris sama sekali. Padahal pasar ini dan Khaosan Road sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi bisa seberbeda itu. Akhirnya bahasa Tarzan dan kalkulator turun tangan, itu pun kadang masih salah. Aku ingin beli banana pancake (camilan favoritku di Thailand), tapi aku hanya mendapat pancake saja, tanpa pisang. Untungnya Thai coffee ku tidak berubah jadi Thai tea.
Meski cape menggoyang-goyang tangan dan menunjuk-nunjuk kalkulator, pengalaman "nyasar" di pasar yang sampai sekarang aku tak tahu namanya ini sangat berharga, melihat Thailand dari sisi non-turistik.
0 komentar:
Posting Komentar