FLASH TRIP PHNOM PENH
Aku paling malas melakukan perjalanan siang. Pertama karena tidak bisa ngirit budget hostel dengan nginap di jalan. Kedua, males aja kan sampai di tujuan malam hari, apalagi kalau tujuannya seperti Siem Reap yang gelap gulita. Tapi mau bagaimana lagi, selepas dari Bangkok transportasi yang tersedia memang bus siang. Syukurlah kondisi ibu kota Kamboja ini lebih baik. Memang tidak terang benderang, tapi setidaknya pemandangan yang ada bukan hitam pekat.
Dari tempat turun bus, kami naik tuk-tuk menuju Nomads Hostel dengan tarif 2 USD. Sedikit review Nomads, aku sangat suka hostel ini. Jadi mereka hanya menyediakan kamar barak/dormitory. Harganya waktu itu hanya 4,5 USD per bed, ini lah penginapan ala backpacker termurah di Phnom Penh. Uniknya, kamar dormitory di sini tidak memakai kasur tingkat, melainkan kasur busa yang dijajarkan di lantai. Masing-masing kasur disediakan satu colokan listrik, kipas angin, dan kelambu. Karena satu kamar dipakai beramai-ramai, mereka menyediakan loker untuk tamu menyimpan barang-barang berharga. Kamar mandi bersamanya pun sangat bersih dan kami juga disediakan handuk mandi untuk digunakan selama menginap di sana. Pemilik Nomads adalah warga negara asing, asal Norwegia kalau tidak salah. Dia sangat ramah dan dengan baik hati mau me-refund uang ketiga teman kami yang batal menginap di sana.
Kamboja Negara Mahal?
Setelah mandi dan merapikan barang, aku dan suami (dulu pacar) keluar untuk cari makan malam. Kami menemukan sejenis kaki lima di dekat hostel dan memutuskan untuk makan di sana. Seorang bule (aku lupa asal mana) mengajak kami ngobrol dan akhirnya kami makan semeja. Ia bercerita bahwa ia sudah tinggal di Kamboja beberapa tahun. Pekerjaannya guru musik. Dia sangat senang tinggal di Kamboja karena serba murah, dia merasa hidup bagai raja di sana. Rasanya aku ingin bilang, "Ya elo kayak raja, gue mah kayak gembel juga di sini, hahaha." But actually itu lebay sih. Kamboja itu kesannya mahal karena dia menggunakan USD untuk transaksi, tapi sebenarnya harga-harga di sini ya normal-normal saja kok. Memang tidak semurah di Thailand, tapi tidak semencekik di Singapura. Contohnya paket nasi dengan aneka lauk di kaki lima ini, hanya dihargai 1,5-2,5 USD saja. Berarti hanya sekitar Rp 20.000,- sampai Rp 30.000,- saja. Kemudian kalau ada yang bilang air mineral di Kamboja mahal, itu bohong. Harganya normal kok. Ya kecuali di dalam kawasan Angkor Wat, memang mahal naudzubilah, namanya juga tempat wisata. Oh ya, Kamboja tidak semata-mata menggunakan USD untuk bertransaksi, dia juga masih menggunakan mata uangnya sendiri yaitu Riel untuk pecahan kecil. Nah, ini lah yang lumayan bikin pusing di Kamboja karena setiap transaksi kita harus mengonversi dua mata uang sekaligus.
Setengah Hari Di Phnom Penh
Aku tak mengagendakan banyak waktu di Phnom Penh. Siang nanti kami sudah harus naik bus untuk melanjutkan perjalanan ke Ho Chi Minh City, Vietnam. Kami tidak berlama-lama di sini karena sebenarnya aku kurang tertarik mengunjungi Phnom Penh. Satu-satunya wisata yang menurutku menarik di sini adalah Killing Fields and Genocide Museum. Museum ini didirikan untuk mengingatkan kekejaman rezim Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot yang menghabisi nyawa jutaan warga Kamboja, isinya kumpulan tengkorak para korban pembantaian. Tapi bagi aku yang penakut, mengunjungi Killing Fields and Genocide Museum bukan ide yang bagus. Bisa-bisa aku terbanyang-bayang keseramannya seumur hidup. Tapi untuk menuju Ho Chi Minh City dari Siem Reap pasti akan melewati Phnom Penh. Jadi mau tidak mau kami harus singgah di sini.
Sungai Mekong di seberang Royal Palace |
Akhirnya pagi itu kami menuju Royal Palace. Di dalamnya ada Silver Pagoda dan Temple of Emerald Buddha. Sayang, sesampainya di sana istana tersebut sedang tidak dibuka untuk umum karena sedang ada acara kenegaraan. Akhirnya kami hanya bisa berfoto di luarnya saja.
Sebenarnya selain Royal Palace dan Killing Fields and Genocide Museum, di Phnom Penh juga ada Wat Phnom dan National Museum yang bisa dikunjungi. Tapi karena kami memang kurang suka berwisata ke tempat di mana kami tidak bisa melakukan aktivitas di sana, kami memilih mencari oleh-oleh di Russian Market atau Pasar Toul Tom Poung. Disebut Pasar Rusia karena dulu banyak ekspatriat Rusia yang telah meninggalkan kewarganegaraannya berbelanja di sini. Kini pasar ini menjadi pusat belanja untuk para wisatawan membeli souvenir khas Kamboja. Aku tak memerlukan waktu lama di sini karena aku hanya mencari piring pajangan bergambar Angkor Wat untuk dibawa pulang. Piring pajangan bergambar ikon negara ini lah yang menjadi belanjaan wajibku setiap mengunjungi negara asing.
0 komentar:
Posting Komentar