Kamis, 20 April 2017

GAGAL NONTON LADYBOY DI PATTAYA

Hari ke-3 di Bangkok, aku dan suamiku (yang dulu masih jadi pacarku) berencana mengunjungi Pattaya. Apa lagi kalau bukan untuk menonton kabaret ladyboy yang sangat terkenal itu. Bahkan Thailand punya ajang kontes kecantikan sendiri untuk wanita "jadi-jadian" ini yang tak kalah heboh dengan ajang Miss Universe. 

Pattaya adalah sebuah kota pesisir di selatan Bangkok. Kota ini merupakan pusatnya ladyboy di Thailand. Jarak Bangkok-Pattaya hampir sama dengan Jakarta-Bandung dengan waktu tempuh sekitar tiga jam. Kami memilih pulang-pergi dan tetap bermalam di Bangkok karena Pattaya terkenal sebagai destinasi wisata mahal, sudah tentu penginapannya juga mahal. Lagi pula keesokan harinya kami akan langsung melanjutkan perjalanan ke Kamboja, di mana transportasinya tentu lebih banyak tersedia di ibu kota.

Transportasi Bangkok-Pattaya banyak tersedia, dari pagi hingga tengah malam. Mungkin karena banyak orang Pattaya yang bekerja di Bangkok dan biasanya mereka pulang seminggu sekali (sama halnya dengan orang Bandung yang kerja di Jakarta).

Kendaraan Bangkok-Pattaya yang sudah kami riset dari Indonesia adalah bus (lihat artikel: 14 Hari Keliling Asia Tenggara (Itinerary Part 3)), tapi di hari sebelumnya aku dan suami iseng-iseng mencari alternatif transportasi lain. Ternyata di sepanjang Khaosan Road banyak agen travel yang menyediakan van untuk ke Pattaya. Dilihat harganya lebih murah, aku dan suami pun mem-booking dua kursi. Asik, sudah lebih murah, pasti juga lebih cepat sampai karena bisa selap-selip, pikirku.

Dugaanku ternyata salah. Keheranan kenapa tiket van/travel lebih murah dibanding tiket bus (padahal kan biasanya mahalan travel ya) terjawab saat perjalanan pulang dengan bus. Perjalanan dengan bus ternyata jauh lebih cepat dibanding naik van. Aku tidak tahu persis kenapa karena aku tidur sepanjang perjalanan. Apakah van itu tidak masuk tol atau memang jalannya kayak kuya, entah lah. Memang naik bus agak repot karena kita harus naik kendaraan lain dulu untuk ke terminal. Tapi percaya lah, kamu akan lebih memilih repot sedikit dibanding berlama-lama duduk berdesakan dalam van. Travel Jakarta-Bandung paling butut saja masih jauh lebih nyaman.

Bye Bye Ladyboy
Sesampainya di Pattaya, kami segera menuju Tiffany Cabaret Show. Ini lah kabaret ladyboy terbesar dan paling terkenal di Thailand. Makanya ajang kontes kecantikan ladyboy bernama Miss Tiffany.

Saat di Indonesia, aku sudah membuka website Tiffany Cabaret Show (www.tiffany-show.co.th). Saat itu harga kursi paling murah masih 416 Baht dan paling mahal 637 Baht atau sekitar Rp 160.000,- sampai Rp 250.000,-. Alangkah kagetnya kami ketika akan membeli tiket di sana ternyata harganya jauh lebih mahal dari itu. Aku pun bilang pada petugas loket kalau aku sudah melihat website Tiffany dan harga tiketnya tidak semahal itu. Si mbak loket pun menjelaskan kalau harga di website adalah harga untuk agen travel. Kita bisa mendapatkan harga lebih murah dibandingkan di sana jika membeli tiket di agen.

Penasaran, kami pun makan siang di McD untuk mendapat wifi gratis (ya maklum lah fakir wifi, nggak mampu beli kuota internet). Aku coba buka website Tiffany dan membeli tiket di sana. Ternyata memang tidak bisa, diperlukan semacam kode member gitu lah.

Mau tidak mau kami pun mencari tiket di agen travel. Semua agen travel di sepanjang jalan kami datangi untuk mencari harga termurah. Jadi harga paling murah adalah yang di website (untuk agen travel), kemudian harga naik di tangan agen travel tergantung agen travelnya (wisatawan bisa membeli di sini), dan harga paling mahal jika membeli on the spot. Aku lupa harga tepatnya, let say Rp 200.000,- di website, Rp 300.000,- di agen, dan Rp 400.000,- on the spot. Sistem yang bagus untuk para pelaku industri pariwisata, hitung-hitung bagi-bagi rezeki. Tapi jelas tidak bagus untuk kami.

Setelah semua agen kami sambangi dan rata-rata memang menjual tiketnya sekitar Rp 300.000,-, aku pun menanyakan keputusannya pada suamiku. Ini jelas di luar budget kami. Jawabannya sungguh mengejutkan, "Kalau Rp 200.000,- sih aku masih ok. Tapi Rp 300.000,- untuk ngelihat cowok nari? I quit!" HAH? Aku kira dia akan bilang "Ok, kapan lagi kita ke sini." Kita udah sampai Pattaya meeennn.. dan nggak lihat ladyboy itu, itu...

Aku mencoba membesar-besarkan bola mataku sambil menatapnya memelas, biar kelihatan kasihan seperti Puss in Boots. "Please," kataku dalam hati. Tapi jawabannya tetap tidak. Ya mau bagaimana lagi, aku kan tidak mungkin nonton sendiri dan membiarkan dia luntang-lantung nggak jelas di Pattaya. Bye bye ladyboy :(

Disappointing Pattaya
Setelah memastikan diri tidak akan nonton ladyboy, kami pun jalan-jalan di pantai. Sumpah, pantainya jelek banget! Kotor lagi. Ada satu objek menarik sih untuk selfie, board bertulisakan "Pattaya" seperti di Hollywood berdiri di atas bukit. Tapi tulisannya tidak begitu besar, jaraknya pun terlalu jauh, ditambah kamera yang tidak mumpuni, gagal deh ber-selfie dengan latar board "Pattaya" itu.

Daripada menggerutu, kami mencoba jajanan yang ada di sekitar pantai. Kami membeli sticky rice dengan ayam dan sambal Pattaya untuk berdua. Kenapa tidak beli sendiri-sendiri? Karena mahal! 

Seperti yang sudah ku bilang, Pattaya ini destinasi wisata mahal. Penginapan mahal, atraksi wisata mahal, makanan mahal (bahkan McD yang sudah standar di seluruh dunia pun mahal), pokoknya serba mahal. Berbeda sekali dengan Bangkok yang serba murah. Dari tipe wisatawannya saja sudah terlihat berbeda sih. Kalau di Bangkok didominasi anak muda yang kelihatannya berbudget pas-pasan, di Pattaya ini didominasi bapak-bapak tua atau bahkan kakek-kakek yang sepertinya bingung bagaimana cara menghabiskan uang mereka. Akhirnya, kebanyakan dari mereka terlihat "ditemani" wanita lokal.

Oh ya, balik lagi ke sticky rice dan ayam itu, rasanya tidak enak! Ayam bakar sambal Pattaya yang dijual di supermarket dekat rumahku di Bandung dulu bahkan punya rasa lebih baik. Bukannya mengobati mood, jajan di sini malah bikin tambah ngomel-ngomel sendiri.

Saking kecewanya dengan Pattaya, aku sampai tidak semangat berfoto. Satu-satunya foto yang aku punya di sini adalah foto dengan background papan bertulisakan Pattaya Beach Road, yang penting aku punya bukti pernah menginjakan kaki di Pattaya. Suamiku lebih tidak bersemangat lagi, ia sama sekali tidak mau difoto.

Banana Pancake Terenak di Thailand
Menjelang malam, kami mencoba jalan-jalan di red district-nya Pattaya. Suamiku sudah bilang sih it's bad idea, tapi aku penasaran aja dengan kehidupan malam di Pattaya. Dan benar saja, begitu memasuki kawasan red district aku sih sebagai perempuan aman-aman saja. Tapi suamiku mulai didekati dan digoda para wanita malam (atau mungkin pria deng, sulit sekali membedakan mana perempuan asli dan mana yang bukan karena ladyboy Thailand sangat cantik). Aku bisa merasakan cengkraman tangan suamiku di pergelangan tanganku makin kencang, dia mulai takut tuh, HAHAHA.

Red district Pattaya ini sungguh "WOW". Bar-bar dengan tembok kaca menampilkan para penari striptease yang mengundang orang-orang masuk ke dalam. Di luar para wanita maupun ladyboy berpakaian minim bertebaran menjajakan diri. Pria-pria tua berjalan doyong ke kanan dan ke kiri berusaha menahan keseimbangan karena mabuk. Pokoknya ini bukan tempat wisata yang baik untuk keluarga dan anak-anak.

Namun di tempat yang bikin tepok jidat berkali-kali ini pula kami menemukan banana pancake terenak se-Thailand! Ok, agak lebay karena sebenarnya kami baru mencicipi banana pancake di beberapa tempat di Bangkok. Tapi asli banana pancake di red district ini enak banget!

Izinkan aku sedikit mendeskripsikan banana pancake (karena aku tidak punya fotonya). Jadi pancake di sini tidak seperti pancake yang umumnya kita ketahui, yaitu adonan encer yang dipanggang di atas wajan dan diberi aneka topping seperti yang kita temui di Nanny's Pavillion. Adonan pancake di sini padat seperti adonan roti cane Malaysia saat belum masak yang ditipiskan hingga sangat lebar di atas wajan besar, kemudian diberi isian potongan pisang, kocokan telur, taburan gula pasir serta susu kental manis (kadang ada juga yang ditambahkan meses coklat, nutella, maupun keju untuk variasi) dan kemudian adonan dilipat dan dibolak-balik hingga matang. Ya, seperti membuat martabak telur di Indonesia tapi ini isiannya manis. Ini adalah jajanan favorit aku dan suami selama di Thailand sampai-sampai kami mengutak-atik resep untuk bisa membuat banana pancake sendiri di Indonesia.

Ok, balik ke banana pancake red district. Memang harganya sedikit lebih mahal daripada di Bangkok. Kalau harga banana pancake di Bangkok dibandrol sekitar 15-30 baht saja, di sini yang paling standar harganya 50 baht. Tapi memang porsinya lebih besar dan isiannya lebih berani, pokoknya mantap! Yang kurang mantap hanya kita harus menyantapnya sambil melihat penari-penari striptease di dalam bar (ya gimana nggak kelihatan, orang temboknya kaca). Jadi sebaiknya mata fokus saja ke banana pancake, daripada kehilangan selera makan, hahaha. Ya sedikit banyak banana pancake ini mengobati kekecewaanku karena gagal nonton ladyboy lah xD

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar