I LEFT MY HEART IN VIETNAM
Malam itu kami tiba di Ho Chi Minh City (HCMC), Vietnam, setelah menempuh delapan jam perjalanan darat dari Phnom Penh, Kamboja. Supir bus tidak menurunkan kami dan penumpang lainnya di terminal melainkan di sebuah jalan yang sangat ramai. Kelihatannya jalan itu adalah salah satu jalan utama di kota yang dulu bernama Saigon ini.
Kami segera mengecek alamat hostel yang sudah kami booking, My My Arthouse. Teryata alamatnya di Jalan Pham Ngu Lao dan saat itu kami tepat berada di sana. Kami pun bertanya pada orang-orang di sekitar di mana lokasi hostel tersebut. Lumayan masuk ke gang-gang sempit memang, tapi cukup mudah ditemukan dan tidak begitu jauh dari jalan utama. Cukup jalan kaki, sampai deh.
Walau pun posisinya di gang, My My Arthouse adalah salah satu hostel favoritku di trip kali ini. Selain kondisi kamar dan kamar mandinya bagus dan bersih serta menyediakan handuk mandi, My My Arthouse juga memberi peta HCMC pada tamunya. Meski petanya hanya secarik kertas HVS A4 hasil fotokopian peta HCMC yang digambar dengan spidol, tapi itu sungguh membantu. Kami pun langsung menandai objek-objek wisata yang ingin kami kunjungi esok hari.
Gurita Bakar Pham Ngu Lao
Usai mandi dan merapikan barang, aku dan suamiku (iya, saat itu masih pacar) keluar untuk mencari makan malam. Tak perlu jauh-jauh, di Jalan Pham Ngu Lao tadi berjejer aneka jajanan kaki lima yang tak kalah menggoda dari streetfood di Bangkok. Setelah merasa cukup scanning, kami memutuskan memilih gurita bakar untuk menu makan malam kami. Wanginya itu loh, manggil-manggil.
Kami segera mengecek alamat hostel yang sudah kami booking, My My Arthouse. Teryata alamatnya di Jalan Pham Ngu Lao dan saat itu kami tepat berada di sana. Kami pun bertanya pada orang-orang di sekitar di mana lokasi hostel tersebut. Lumayan masuk ke gang-gang sempit memang, tapi cukup mudah ditemukan dan tidak begitu jauh dari jalan utama. Cukup jalan kaki, sampai deh.
Walau pun posisinya di gang, My My Arthouse adalah salah satu hostel favoritku di trip kali ini. Selain kondisi kamar dan kamar mandinya bagus dan bersih serta menyediakan handuk mandi, My My Arthouse juga memberi peta HCMC pada tamunya. Meski petanya hanya secarik kertas HVS A4 hasil fotokopian peta HCMC yang digambar dengan spidol, tapi itu sungguh membantu. Kami pun langsung menandai objek-objek wisata yang ingin kami kunjungi esok hari.
Gurita Bakar Pham Ngu Lao
Usai mandi dan merapikan barang, aku dan suamiku (iya, saat itu masih pacar) keluar untuk mencari makan malam. Tak perlu jauh-jauh, di Jalan Pham Ngu Lao tadi berjejer aneka jajanan kaki lima yang tak kalah menggoda dari streetfood di Bangkok. Setelah merasa cukup scanning, kami memutuskan memilih gurita bakar untuk menu makan malam kami. Wanginya itu loh, manggil-manggil.
Gurita Bakar Pham Ngu Lao |
Gurita
yang sudah direndam bumbu dipanggang di atas bara api dan
dipotong-potong. Saus cocolnya adalah campuran bubuk merica, garam,
irisan cabai rawit, dan perasan jeruk nipis. Rasanya top! Kadang-kadang
kalau kangen Vietnam, aku suka masak aneka seafood dengan saus merica
tersebut. Oh ya, harganya? 100.000 Dong atau sekitar Rp 50.000,- saja.
Aku bilang "saja" karena harga segitu sih worth it untuk gurita yang
rasanya sangat enak dan ukurannya pun cukup besar. Bisa lah satu berdua,
walau pun sebenarnya kami ingin beli sendiri-sendiri sih kalau tidak
ingat keuangan, hahaha.
Tapi untuk mendapatkan gurita ini perlu perjuangan loh karena penjualnya tidak bisa Bahasa Inggris sama sekali. Bahasa Tarzan dan kalkulator juga tidak mempan. Akhirnya dia minta tolong satpam di sekitar tempat dia jualan untuk menjadi penjembatan. Itu pun si satpam masih susah payah mengerti apa yang kami katakan. Kalau boleh membuat kesimpulan, Vietnam ini lah yang paling kacau Bahasa Inggrisnya dibanding Kamboja dan Thailand. Jangan bandingkan dengan Singapura dan Malaysia ya, itu sih warganya jago banget berbahasa Inggris. Aku sampai takut salah ngomong karena grammar-ku kan ancur, HAHAHA.
Wisata Kota dan Kopi
Keesokan paginya aku dan suamiku bersiap untuk berwisata kota. Destinasi-destinasi wisata di HCMC letaknya berdekatan dan tak jauh dari hostel tempat kami menginap. Jadi cukup jalan kaki, semua tempat terjelajahi. Untung lah ada peta dari hostel kemarin. Kami kan backpacker kere yang mengandalkan wifi hostel. Jadi begitu keluar, kami tidak punya akses internet untuk buka gps. Ternyata peta yang ala kadarnya itu benar-benar jelas dan tepat. Membacanya sangat mudah dan kami sama sekali nggak nyasar!
Oh ya, selain objek wisata yang saling berdekatan itu, di HCMC juga ada destinasi wisata menarik lain yaitu Cu Chi Tunnel. Cu Chi Tunnel adalah terowongan bawah tanah yang dibuat oleh pasukan Vietkong semasa perang Vietnam. Tapi lokasi Cu Chi Tunnel ini cukup jauh. Setidaknya perlu setengah hari sendiri untuk bisa menjelajahinya.
Jika memiliki hari lebih di Vietnam, kita juga bisa mampir ke Da Lat. Pernah dengar kan nama kota ini dulu di pelajaran IPS SD? Yup, Da Lat adalah kota di mana Ir. Soekarno, M. Hatta, dan Dr. Radjiman melakukan pertemuan dengan Marsekal Terauchi (Jepang) untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia. Da Lat juga disebut-sebut sebagai Bandung-nya Vietnam karena udaranya yang sejuk dan daya tarik wisata bunga. Jarak HCMC-Dalat pun hampir sama dengan Jakarta-Bandung. Jadi memang perlu satu hari khusus untuk bisa mengunjungi Da Lat.
Mengenai transportasi ke sana tidak perlu pusing. My My Arthouse (dan aku tebak semua hostel di HCMC) menyediakan paket transportasi ke Cu Chi Tunnel maupun ke Da Lat. Serba praktis deh pokoknya.
Sayang sekali kami hanya punya waktu sehari di Vietnam, jadi kami utamakan berwisata kota HCMC saja. Ok, langsung saja ya aku ceritakan bagaimana cara asik menghabiskan satu hari di HCMC ;D
Here we go! Sambil menuju tujuan pertama yaitu War Remnants Museum, kami lihat-lihat kondisi sekitar. Siapa tahu ada yang menarik untuk dijadikan sarapan. Sebenarnya aku pengen banget sarapan sandwich khas Vietnam, Banh Mi. Kalau kalian pernah makan Subway, ya seperti itu lah rotinya. Sayangnya semua penjual Banh Mi yang kami temui di jalan menjual babi, jadi kami tidak bisa makan deh.
Kemudian kami menemukan sebuah restoran halal milik warga Malaysia (kalau nggak salah namanya De Daun) yang menjual pho, mie khas Vietnam. Ya sudah, karena wajib hukumnya mencoba makanan khas setempat ketika traveling, akhirnya kami makan di sana. Pho pinggir jalan semua memakai daging babi, jadi kami memang harus mencari restoran seperti ini agar terjamin kehalalannya. Nah karena di restoran, seporsi pho di sini dibandrol dengan harga cukup mahal, yaitu 90.000 Dong atau sekitar Rp 45.000,-. Pho rupanya mirip-mirip kwetiau. Rasanya sih biasa saja, mungkin pho pinggir jalan dengan daging babi itu lebih enak (LOL). Tapi yang paling aku suka di sini adalah basonya. Terasa jelas komposisi basonya lebih banyak daging sapi dibanding acinya, karena saat dikunyah rasanya krenyes-krenyes. Plus baso di sini dicampur dengan biji lada hitam utuh, jadi kalau tergigit biji lada hitamnya langsung ada sensasi pedas dan hangat yang aku suka banget.
Tapi untuk mendapatkan gurita ini perlu perjuangan loh karena penjualnya tidak bisa Bahasa Inggris sama sekali. Bahasa Tarzan dan kalkulator juga tidak mempan. Akhirnya dia minta tolong satpam di sekitar tempat dia jualan untuk menjadi penjembatan. Itu pun si satpam masih susah payah mengerti apa yang kami katakan. Kalau boleh membuat kesimpulan, Vietnam ini lah yang paling kacau Bahasa Inggrisnya dibanding Kamboja dan Thailand. Jangan bandingkan dengan Singapura dan Malaysia ya, itu sih warganya jago banget berbahasa Inggris. Aku sampai takut salah ngomong karena grammar-ku kan ancur, HAHAHA.
Wisata Kota dan Kopi
Keesokan paginya aku dan suamiku bersiap untuk berwisata kota. Destinasi-destinasi wisata di HCMC letaknya berdekatan dan tak jauh dari hostel tempat kami menginap. Jadi cukup jalan kaki, semua tempat terjelajahi. Untung lah ada peta dari hostel kemarin. Kami kan backpacker kere yang mengandalkan wifi hostel. Jadi begitu keluar, kami tidak punya akses internet untuk buka gps. Ternyata peta yang ala kadarnya itu benar-benar jelas dan tepat. Membacanya sangat mudah dan kami sama sekali nggak nyasar!
Oh ya, selain objek wisata yang saling berdekatan itu, di HCMC juga ada destinasi wisata menarik lain yaitu Cu Chi Tunnel. Cu Chi Tunnel adalah terowongan bawah tanah yang dibuat oleh pasukan Vietkong semasa perang Vietnam. Tapi lokasi Cu Chi Tunnel ini cukup jauh. Setidaknya perlu setengah hari sendiri untuk bisa menjelajahinya.
Jika memiliki hari lebih di Vietnam, kita juga bisa mampir ke Da Lat. Pernah dengar kan nama kota ini dulu di pelajaran IPS SD? Yup, Da Lat adalah kota di mana Ir. Soekarno, M. Hatta, dan Dr. Radjiman melakukan pertemuan dengan Marsekal Terauchi (Jepang) untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia. Da Lat juga disebut-sebut sebagai Bandung-nya Vietnam karena udaranya yang sejuk dan daya tarik wisata bunga. Jarak HCMC-Dalat pun hampir sama dengan Jakarta-Bandung. Jadi memang perlu satu hari khusus untuk bisa mengunjungi Da Lat.
Mengenai transportasi ke sana tidak perlu pusing. My My Arthouse (dan aku tebak semua hostel di HCMC) menyediakan paket transportasi ke Cu Chi Tunnel maupun ke Da Lat. Serba praktis deh pokoknya.
Sayang sekali kami hanya punya waktu sehari di Vietnam, jadi kami utamakan berwisata kota HCMC saja. Ok, langsung saja ya aku ceritakan bagaimana cara asik menghabiskan satu hari di HCMC ;D
Here we go! Sambil menuju tujuan pertama yaitu War Remnants Museum, kami lihat-lihat kondisi sekitar. Siapa tahu ada yang menarik untuk dijadikan sarapan. Sebenarnya aku pengen banget sarapan sandwich khas Vietnam, Banh Mi. Kalau kalian pernah makan Subway, ya seperti itu lah rotinya. Sayangnya semua penjual Banh Mi yang kami temui di jalan menjual babi, jadi kami tidak bisa makan deh.
Kemudian kami menemukan sebuah restoran halal milik warga Malaysia (kalau nggak salah namanya De Daun) yang menjual pho, mie khas Vietnam. Ya sudah, karena wajib hukumnya mencoba makanan khas setempat ketika traveling, akhirnya kami makan di sana. Pho pinggir jalan semua memakai daging babi, jadi kami memang harus mencari restoran seperti ini agar terjamin kehalalannya. Nah karena di restoran, seporsi pho di sini dibandrol dengan harga cukup mahal, yaitu 90.000 Dong atau sekitar Rp 45.000,-. Pho rupanya mirip-mirip kwetiau. Rasanya sih biasa saja, mungkin pho pinggir jalan dengan daging babi itu lebih enak (LOL). Tapi yang paling aku suka di sini adalah basonya. Terasa jelas komposisi basonya lebih banyak daging sapi dibanding acinya, karena saat dikunyah rasanya krenyes-krenyes. Plus baso di sini dicampur dengan biji lada hitam utuh, jadi kalau tergigit biji lada hitamnya langsung ada sensasi pedas dan hangat yang aku suka banget.
War Remnants Museum |
Selesai sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke War Remnants Museum. Ini adalah museum untuk mengenang tragedi perang Vietnam. Aku tak akan banyak mengulasnya di sini karena aku akan menulisnya di artikel terpisah. Pokoknya ini adalah destinasi wajib jika berkunjung ke HCMC. Aku sangat jatuh cinta pada museum ini, makanya aku bisa menulis satu artikel sendiri hanya untuk menceritakannya.
Oh ya, ada sedikit cerita menarik saat kami akan ke War Remnants Museum. Berjalan kaki di HCMC adalah salah satu hal yang sangat aku sukai di Vietnam. Menurutku HCMC ini seperti Jakarta, tapi atmosfernya damai dan tenang. Trotoar untuk pejalan kaki pun sangat lebar. Mungkin 2 atau 3 kalinya lebar trotoar di kawasan Mega Kuningan. Tapi pengendara motor di Vietnam jauh lebih gila (di Indonesia saja sudah gila kan). Jangankan di jalanan, di trotoar yang bukan tempat seharusnya mereka berada saja pada ngebut kayak nggak punya rem. Sering kali aku terkaget-kaget karena ada motor yang ngebut dari belakang. Nah, waktu itu ada seorang kakek bule yang mau menyeberang. Dia sudah menekan tombol di lampu lalu-lintas untuk memberi tanda akan ada pejalan kaki yang nyeberang berkali-kali, tapi tidak ada satu pun kendaraan yang menurunkan kecepatannya. Karena kasihan, aku pun menghampirinya dan menyeberangkannya. Dia bilang padaku, "Kok kamu bisa nyeberang di sini sih? Aku udah stuck (nggak bisa nyeberang) di sini selama setengah jam." Ya aku jawab saja kalau aku berasal dari Indonesia dan kurang lebih perilaku pengendara di Indonesia ya seperti di sini. Tentu aku percaya tidak semua seperti itu. Tapi faktanya itu lah yang sering kita temui di jalan kan. Kapan ya semua warga Indonesia bisa tertib dalam berkendara?
Oh ya, ada sedikit cerita menarik saat kami akan ke War Remnants Museum. Berjalan kaki di HCMC adalah salah satu hal yang sangat aku sukai di Vietnam. Menurutku HCMC ini seperti Jakarta, tapi atmosfernya damai dan tenang. Trotoar untuk pejalan kaki pun sangat lebar. Mungkin 2 atau 3 kalinya lebar trotoar di kawasan Mega Kuningan. Tapi pengendara motor di Vietnam jauh lebih gila (di Indonesia saja sudah gila kan). Jangankan di jalanan, di trotoar yang bukan tempat seharusnya mereka berada saja pada ngebut kayak nggak punya rem. Sering kali aku terkaget-kaget karena ada motor yang ngebut dari belakang. Nah, waktu itu ada seorang kakek bule yang mau menyeberang. Dia sudah menekan tombol di lampu lalu-lintas untuk memberi tanda akan ada pejalan kaki yang nyeberang berkali-kali, tapi tidak ada satu pun kendaraan yang menurunkan kecepatannya. Karena kasihan, aku pun menghampirinya dan menyeberangkannya. Dia bilang padaku, "Kok kamu bisa nyeberang di sini sih? Aku udah stuck (nggak bisa nyeberang) di sini selama setengah jam." Ya aku jawab saja kalau aku berasal dari Indonesia dan kurang lebih perilaku pengendara di Indonesia ya seperti di sini. Tentu aku percaya tidak semua seperti itu. Tapi faktanya itu lah yang sering kita temui di jalan kan. Kapan ya semua warga Indonesia bisa tertib dalam berkendara?
Reunification Palace |
Lanjut ya. Setelah mengunjungi War Remnants Museum, selanjutnya kami ke Reunification Palace. Nah setelah perang Vietnam usai, Vietnam Utara dan Vietnam Selatan yang sempat kerpecah kembali bersatu. Istana ini lah yang menjadi saksi persatuan tersebut. Tak banyak informasi yang bisa didapat dari istana ini, tapi istananya cukup cucok untuk foto-foto.
Bagian dalam Reunification Palace |
Helicopter di Reunification Palace |
Oh ya, War Remnants Museum dan Reunification Palace kami kunjungi paling awal karena kami tidak mau kunjungan kami terpotong jam istirahat. Seperti museum kebanyakan, War Remnants Museum dan Reunification Palace buka dari jam 7.30-11.30, selanjutnya mereka istirahat dan dibuka kembali jam 13.00-17.00 waktu setempat.
Notre Dame Cathedral |
Setelah selesai di Reunification Palace, kami menuju Notre Dame Chatedral. Kami hanya mengambil foto sebentar lalu menyeberang ke Saigon Central Post Office.
Saigon Central Post Office. Lukisan lelaki berjanggut putih di belakang ku adalah Ho Chi Minh, pahlawan Vietnam. |
Saigon Central Post Office bukan sekadar kantor pos. Kantor pos ini juga ditujukan untuk menjadi destinasi wisata. Di dalamnya kita bisa membeli aneka souvenir khas Vietnam yang terpajang rapi. Tapi di sini harganya cukup mahal, mungkin karena pengemasannya lumayan eksklusif. Nah kalau mau belanja oleh-oleh lebih murah, lebih baik belanja di Benh Than Market. Tapi sebelum berbelanja, kami cari makan siang dulu.
Bagi para muslim, di Vietnam harus lumayan hati-hati dalam memilih makanan karena banyak yang mengandung babi. Daripada pusing keliling-keliling cari makanan otentik yang halal, perut sudah lapar pula, aku dan suami memutuskan makan di kafe yang kami lewati. Kok backpackeran makan di kafe? Tenang, kafe di HCMC ini murah kok. Per itemnya hanya belasan ribu (karena ada papan harganya juga sih makanya kami berani masuk, haha). Pokoknya rata-rata harga makanan, barang, dan penginapan di Vietnam ini terbilang terjangkau. Sudah terjangkau, nilai mata uangnya lebih rendah lagi dari Rupiah. Bisa lah berasa jadi raja di sini, hihi.
Selesai makan, kami langsung menuju Benh Than Market. Seperti biasa aku mencari pajangan piring dengan gambar ikon negara. Aku juga membeli beberapa gantungan kunci untuk oleh-oleh. Jangan lupa juga membeli kopi Vietnam yang sangat terkenal itu (apalagi setelah kasus Jessica, makin terkenal aja tuh kopi, hehe). Aku membeli kopi sachet untuk dibagikan ke saudara-saudara yang suka kopi, kopi biji yang aku minta giling dadakan di sana untuk diriku sendiri (kalau di rumah ada grinder gilingnya di rumah aja supaya rasa kopinya lebih fresh), dan coffee dripper untuk membuat kopi dengan Vietnam style (murah kok harganya cuma 10.000 Dong alias cuma Rp 5.000,-).
Setelah puas belanja, kami segera kembali ke hostel untuk menaruh barang dan mandi sore. Jarang-jarang nih selama ngetrip ini bisa mandi sore :p Biasanya kami seharian di luar sampai malam.
Selesai sholat maghrib kami keluar lagi untuk cari makan malam. Lagi-lagi pilihan kami jatuh pada gurita bakar. Pokoknya nggak boleh ada hari terlewat di HCMC tanpa menyantap gurita bakar! Kali ini kami tidak lagi repot berkomunikasi dengan si penjual. Cukup tunjuk gurita, acungkan satu jari (telunjuk ya, jangan yang lain, apalagi yang tengah, haha), dan langsung berikan uang 100.000 Dong, kelar. Seporsi gurita bakar Pham Ngu Lao akan segera tersaji.
Selesai makan kami jalan-jalan di sekitar sana. Tak sengaja kami menemukan kedai kopi Trung Ngunyen, merek yang sama dengan kopi sachet yang aku beli di pasar tadi. Ternyata Trung Ngunyen adalah merek kopi legendaris di Vietnam. Kalau ke Vietnam jangan sampai melewatkan mencicip kopinya langsung di kedai Trung Ngunyen. Sepulang dari Vietnam aku sudah mencoba baik kopi sachet maupun kopi biji yang aku minta giling dadakan di Benh Than Market itu. Di hari sebelumnya pun kami sudah mencicipi kopi pinggir jalannya. Semua enak, tapi yang paling enak adalah kopi Vietnam di kedai kopi Trung Ngunyen ini. Suamiku yang tidak suka kopi saja nambah saat minum kopi di sana. Sudah aku cekoki Aceh Gayo, kopi yang menurutku da best se-Indonesia, tetep katanya paling enak itu kopi Vietnam di kedai Trung Ngunyen.
Keesokan paginya kami bergegas jalan kaki menuju Stasiun Benh Than untuk naik bus No. 152 ke Bandara. Harganya hanya 5.000 Dong atau sekitar Rp 2.500,-, hei kapan lagi ke badara cuma 2.500 perak??
Rasanya tidak percaya trip selama 14 hari ini sudah akan berakhir. Senang sekaligus berat rasanya harus pulang, apalagi negara terakhir ini adalah negara yang paling kami suka. Aku dan suamiku sama-sama sudah meninggalkan hati kami di Vietnam, di gurita bakarnya, dan di gelas kopinya. Semoga suatu hari nanti kami bisa ke sana lagi untuk mengambil hati kami kembali :))
Bagi para muslim, di Vietnam harus lumayan hati-hati dalam memilih makanan karena banyak yang mengandung babi. Daripada pusing keliling-keliling cari makanan otentik yang halal, perut sudah lapar pula, aku dan suami memutuskan makan di kafe yang kami lewati. Kok backpackeran makan di kafe? Tenang, kafe di HCMC ini murah kok. Per itemnya hanya belasan ribu (karena ada papan harganya juga sih makanya kami berani masuk, haha). Pokoknya rata-rata harga makanan, barang, dan penginapan di Vietnam ini terbilang terjangkau. Sudah terjangkau, nilai mata uangnya lebih rendah lagi dari Rupiah. Bisa lah berasa jadi raja di sini, hihi.
Selesai makan, kami langsung menuju Benh Than Market. Seperti biasa aku mencari pajangan piring dengan gambar ikon negara. Aku juga membeli beberapa gantungan kunci untuk oleh-oleh. Jangan lupa juga membeli kopi Vietnam yang sangat terkenal itu (apalagi setelah kasus Jessica, makin terkenal aja tuh kopi, hehe). Aku membeli kopi sachet untuk dibagikan ke saudara-saudara yang suka kopi, kopi biji yang aku minta giling dadakan di sana untuk diriku sendiri (kalau di rumah ada grinder gilingnya di rumah aja supaya rasa kopinya lebih fresh), dan coffee dripper untuk membuat kopi dengan Vietnam style (murah kok harganya cuma 10.000 Dong alias cuma Rp 5.000,-).
Setelah puas belanja, kami segera kembali ke hostel untuk menaruh barang dan mandi sore. Jarang-jarang nih selama ngetrip ini bisa mandi sore :p Biasanya kami seharian di luar sampai malam.
Selesai sholat maghrib kami keluar lagi untuk cari makan malam. Lagi-lagi pilihan kami jatuh pada gurita bakar. Pokoknya nggak boleh ada hari terlewat di HCMC tanpa menyantap gurita bakar! Kali ini kami tidak lagi repot berkomunikasi dengan si penjual. Cukup tunjuk gurita, acungkan satu jari (telunjuk ya, jangan yang lain, apalagi yang tengah, haha), dan langsung berikan uang 100.000 Dong, kelar. Seporsi gurita bakar Pham Ngu Lao akan segera tersaji.
Selesai makan kami jalan-jalan di sekitar sana. Tak sengaja kami menemukan kedai kopi Trung Ngunyen, merek yang sama dengan kopi sachet yang aku beli di pasar tadi. Ternyata Trung Ngunyen adalah merek kopi legendaris di Vietnam. Kalau ke Vietnam jangan sampai melewatkan mencicip kopinya langsung di kedai Trung Ngunyen. Sepulang dari Vietnam aku sudah mencoba baik kopi sachet maupun kopi biji yang aku minta giling dadakan di Benh Than Market itu. Di hari sebelumnya pun kami sudah mencicipi kopi pinggir jalannya. Semua enak, tapi yang paling enak adalah kopi Vietnam di kedai kopi Trung Ngunyen ini. Suamiku yang tidak suka kopi saja nambah saat minum kopi di sana. Sudah aku cekoki Aceh Gayo, kopi yang menurutku da best se-Indonesia, tetep katanya paling enak itu kopi Vietnam di kedai Trung Ngunyen.
Keesokan paginya kami bergegas jalan kaki menuju Stasiun Benh Than untuk naik bus No. 152 ke Bandara. Harganya hanya 5.000 Dong atau sekitar Rp 2.500,-, hei kapan lagi ke badara cuma 2.500 perak??
Rasanya tidak percaya trip selama 14 hari ini sudah akan berakhir. Senang sekaligus berat rasanya harus pulang, apalagi negara terakhir ini adalah negara yang paling kami suka. Aku dan suamiku sama-sama sudah meninggalkan hati kami di Vietnam, di gurita bakarnya, dan di gelas kopinya. Semoga suatu hari nanti kami bisa ke sana lagi untuk mengambil hati kami kembali :))
0 komentar:
Posting Komentar